Medan, 6 November 2020 Sejumlah media yang tergabung dalam konsorsium Indonesia Leaks, pada Februari 2020 lalu, merilis laporan investigative mengenai dugaan manipulasi dokumen eksport bubur kayu PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) ke China. Laporan tersebut mengungkap dugaan salah-klasifikasi (misclassification) jenis pulp yang diekspor TPL. Forum Pajak Berkeadilan, satu koalisi yang berisi sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia, menindaklanjuti temuan Indonesian Leaks tersebut dengan menganalisis dokumen-dokumen ekspor – impor pulp Indonesia, Makau, dan Tiongkok. Hasilnya, menguatkan temuan Indonesia Leaks. Pada pencatatan ekspor ke Tiongkok disebut sebagai pulp grade kertas, tapi oleh pencatatan Tiongkok tercatat diterima sebagai pulp larut yang biasa dipakai untuk tekstil dan harganya jauh lebih mahal.
Pada Selasa, 3 November 2020, Forum Pajak Berkeadilan pun mempublikasikan temuan-temuannya, dengan laporan berjudul Mesin Uang Makau: Dugaan Pengalihan Keuntungan dan Kebocoran Pajak pada Ekspor Pulp Indonesia. Laporan ini mengupas dugaan pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak ekspor pulp larut TPL pada 2007 – 2016. Terhitung potensi kerugian negara oleh praktik itu sebesar Rp 1,9 triliun. Rentang 2006 – 2017 TPL diduga melakukan salah-klasifikasi (misclassification) jenis pulp yang diekspornya yang dilaporkan sebagai pulp grade kertas berkode HS 470329, yakni kode produk Bleached Hard Wood Kraft Paper (BHKP) yang digunakan untuk memproduksi kertas dan tisu. Ditelisik, terlihat bahwa otoritas di Tiongkok mencatat menerima kiriman dissolving pulp (pulp larut) dari Indonesia. Sementara, sepanjang periode tersebut hanya TPL yang memproduksi pulp larut di Indonesia. Pulp larut digunakan untuk memproduksi viscose tercatat dengan kode HS 470200 yang digunakan untuk memproduksi viscose untuk produk tekstil, dan harganya jauh lebih tinggi dibanding pulp grade kertas. Sepanjang 2007-2016, total ekspor pulp larut Indonesia tercatat
sebanyak 150.000 ton, namun Tingkok mencatat mengimpor pulp larut dari Indonesia sebanyak 1,1 juta ton.
Pada 2017 sepertinya TPL sudah melaporkan produk ekspornya sebagai pulp larut, tapi justru APRIL Grup, korporat di Riau yang pengendali utamanya (ultimate beneficial owner) sama dengan TPL, yaitu Sukanto Tanoto, yang diduga mengulang praktik misklasifikasi tersebut pada ekspornya dari Riau ke Tiongkok. Sebagai kelompok masyarakat sipil di Sumatera Utara yang turut menerbitkan laporan tersebut, KSPPM, Bakumsu, AMAN Tano Batak WALHI Sumut, mendesak pemerintah mengusut tuntas dugaan praktek pengalihan keuntungan dan kebocoran pajak tersebut. Apalagi, bukan kali ini saja perusahaan yang dikendalikan Sukanto Tanoto melakukan perbuatan sejenis, sebagaimana tahun 2007 PT Asian Agri terlibat kasus dugaan penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun. Setelah kasusnya berjalan tujuh tahun, pada 2015 pengadilan menjatuhkan denda kepada Asian Agri sebesar Rp 2,5 triliun dan sanksi administrasi sebesar Rp 1,9 triliun (lihat “Penggelapan Pajak Asian Agri Canggih dan Terencana”, https://katadata.co.id/berita/2014/01/09/penggelapan-pajak-asian-agri-canggih-danterencana) TPL sendiri sarat masalah di Sumatera Utara.
“Kehadiran perusahaan ini sejak awal sudah menimbulkan banyak masalah, khususnya perampasan ruang hidup masyarakat adat di Tano Batak. Dari sisi konsesi saja, setidaknya 37.500 hektare yang dikelola 21 komunitas adat dirampas oleh izin konsesi TPL”, ujar Delima Silalahi, Direktur Program KSPPM. Tumpang-tindih izin dengan wilayah kelola masyarakat adat tersebut selama ini memicu konflik berkepanjangan.
“Kebijakan dan regulasi cenderung berpihak ke korporasi, tapi tidak melindungi komunitas adat yang sudah ada di lokasi tersebut jauh sebelum TPL hadir. regulasi yang berbelit dan butuh biaya membuat sulitnya mewujudkan hutan adat. Bahkan, tak jarang penduduk yang memperjuangkan wilayah adatnya justru diintimidasi dan atau dikriminalisasi,” imbuh Roganda Simanjuntak, Ketua BPH Aman Tano Batak.
Sekretaris Eksekutif BAKUMSU, Manambus Pasaribu, mengatakan bahwa kriminalisasi yang terjadi di wilayah konsesi TPL terkait pada proses penegakan hukum pidana yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum pidana itu sendiri yang dilakukan dengan melibatkan aparat penegak hukum khususnya penyidik, menggunakan proses hukum acara pidana oleh aparat penegak hukum tanpa adanya bukti permulaan yang cukup atau “probable cause” atau
bukti yang diada-adakan dan dilakukan dengan itikad buruk. Lebih lanjut Manambus mengatakan, “Ada banyak kasus kriminalisasi yang terjadi sejak reoperasional PT TPL di awal tahun 2000-an, khususnya terhadap masyarakat adat di wilayah konsesi PT TPL, seperti Pandumaan-Sipitihuta, Tungko Ni Solu, Sihaporas, Lumban Sitorus dan yang lainnya.
“Saat ini, bahkan perusahaan ini kerap memicu konflik horizontal atau menciptakan disharmoni di desa, di mana masyarakat adat dibenturkan dengan Kelompok Tani Hutan (KTH). Politik devide et impera masih saja menjadi andalan perusahaan ini sejak masih bernama PT Inti Indorayon Utara (IIU), untuk menguasai wilayah adat yang mereka klaim
sebagai wilayah konsesi tersebut”, ujar Delima.
Kehadiran TPL juga mempercepat laju deforestasi di Kawasan Danau Toba, dari total 167.912 ha izin konsesi PT. TPL yang diterbitkan dalam SK. 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020, seluas 46.885 ha konsesinya berada di Kawasan Bentang Alam Tele. “Seluas 46.885 hektare Bentang Alam Tele diterbitkan izin TPL, itu hampir separuh dari total keseluruhan Bentang Alam Tele yang ada. Pada 10 tahun terakhir deforestasi di bentang alam ini meningkat drastis, dan 92,5% terjadi di wilayah izin TPL. Dengan sederet rekam jejak buruk tersebut, sudah saatnya pemerintah mengevaluasi keberadaan TPL. Tak cukup hanya mengembalikan kerugaian negara, tapi setidaknya mengeluarkan semua wilayah kelola masyarakat dari izin konsesi dan memastikan hutan tersisa tidak ditebang lagi,” simpul Dana Tarigan, Direktur Eksekutif
WALHI Sumatera Utara.
Berangkat dari uraian di atas, maka dengan ini anggota Forum Pajak Berkeadilan yang ada di
Sumatera, meminta:
- Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat
Jenderal Pajak mengusut tuntas dugaan manipulasi dokumen ekspor PT TPL, dan
melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengusutan tersebut; - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan wilayah kelola
masyarakat dari wilayah izin TPL; - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Daerah menerbitkan
regulasi dan kebijakan yang memastikan semua hutan tersisa di wilayah izn TPL tidak
dikonversi menjadi hutan tanaman industri; - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Daerah segera
menerbitkan penetapan hutan adat terhadap wilayah-wilayah di dalam izin TPL saat ini
dikelola komunitas adat; - PT TPL menghormati proses penyelesaian konflik yang sedang berjalan, tidak
mengganggu aktivitas masyarakat adat di wilayah adatnya, dan menghentikan segala
bentuk intimidasi dan kriminalisasi masyarakat adat di Tanah Batak.
Demikian Siaran Pers ini kami sampaikan.