Tindakan intoleransi yang terjadi pada tanggal 29 Juli 2016 di Kota Tanjung Balai yang mengakibatkan pembakaran terhadap 4 (empat) Vihara, 8 (delapan) Klenteng, 2 (dua) Kantor Yayasan Sosial dan 1 (satu) Rumah Tinggal milik warga bernama Meliana yang dilakukan oleh sekelompok massa, saat ini berujung pada kriminalisasi terhadap diri Meliana sebagai korban.
Kepolisian Resort Tanjung Balai telah menetapkan Meliana sebagai Tersangka dugaan pelaku tindak pidana “for muka umum menyatakan permusuhan, atau kebencian atau penghinaan terhadap suatu golongan penduduk negara Republik Indonesia” dan atau “dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 dan atau Pasal 156a huruf a dari KUH Pidana.
Kami, Lembaga Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) sebagai sebuah lembaga yang konsern dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia prihatin dan menyesalkan tindakan Kepolisian Resort Tanjung Balai tersebut yang justru tidak memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada Meliana sebagai korban.
BAKUMSU menilai tindakan Kepolisian Resort Tanjung Balai ini adalah pelanggaran terhadap hak konstitusional Meliana, yakni Pasal 28G (1) UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”. Tindakan ini juga merupakan pelanggaran PERKAP (Peraturan Kapolri) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Untuk itu kami mendesak agar Kepolisian Resort Tanjung Balai menghentikan proses hukum dan upaya kriminalisasi terhadap diri Meliana karena tidak ada unsur-unsur pidana di dalamnya dan tindakan tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.