Skip to content
Home » Polisi Dianggap Lalai, BAKUMSU Minta Kapolri Usut Tragedi SARA Tanjung Balai

Polisi Dianggap Lalai, BAKUMSU Minta Kapolri Usut Tragedi SARA Tanjung Balai

www.MartabeSumut.com, Medan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) meminta Kapolri Jendral Tito Karnavian mengusut tragedi kekerasan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di Kota Tanjung Balai pada Jumat malam (29/7/2016). BAKUMSU menilai telah terjadi kelalaian di jajaran Polresta Tanjung Balai sehingga gagal mengantisipasi aksi kerusuhan massa.   Melalui keterangan Pers kepada www.MartabeSumut.com, Minggu siang (31/7/2016), BAKUMSU melalui Tongam Panggabean mendesak 4 tuntutan untuk disikapi, meliputi : 1. Kepala Kepolisian Rrepublik Indonesia segera melakukan pengusutan tuntas terhadap kelalaian kepolisian di bawahnya terutama Kapolres Tanjung Balai dan Kapolsek setempat. Jika terbukti bersalah, BAKUMSU mengusulkan pejabat bersangkutan segera dicopot.   2. Aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus kekerasan SARA di Kota Tanjung Balai dengan menyeret pihak-pihak yang diduga terlibat ke dalam proses hukum sesuai ketentuan berlaku. 3. Pemerintah daerah Tanjung Balai segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak-hak korban intolerasi dan jaminan kejadian serupa tidak berulang dan meluas.   4. Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pengusutan dugaan pelanggaran HAM di Kota Tanjung Balai.

Sesalkan Kerusuhan SARA   Sebagai lembaga yang konsern dalam isu penegakan hukum, HAM dan demokrasi, kata Tongam, BAKUMSU menyesalkan terjadinya kerusuhan antar umat beragama di Kota Tanjung Balai. “Seperti diberitakan media massa, kerusuhan berujung pada pembakaran 2 vihara dan 4 kelenteng milik umat Budha. Tindakan intoleran tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan konstitusi yang menjadi dasar dalam upaya penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan dasar manusia memeluk serta menjalankan ibadahnya berdasarkan agama dan kepercayaan yang dianut,” tegas Tongam. Menutunya, BAKUMSU berpendapat bahwa tindakan intoleran tersebut merupakan akibat dari sikap pasif dan kelengahan pemerintah daerah dan kepolisian dalam menjaga toleransi umat beragama di Tanjung Balai. Dalam kasus-kasus intoleransi lainnya, lanjut Tongam, aparat kepolisian juga tidak hadir ketika korban membutuhkan perlindungan atau jaminan keamanan.

Tahun 2010 ada Kasus SARA di Tanjung Balai   Tongam pun mencontohkan kejadian tahun 2010 di Kota Tanjung Balai sesuai catatan BAKUMSU. “Kekerasan terhadap kelompok minoritas bukanlah kasus pertama terjadi di Tanjung Balai. Sebelumnya pada 2010 lalu pernah terjadi upaya penurunan patung Budha Amitabha di Vihara Tri Ratna Tanjung Balai oleh pemerintah Kota Tanjung Balai. Tindakan itu dipicu oleh aksi sejumlah ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Islam Bersatu di Kota Tanjung Balai yang mengecam keberadaan Patung itu sebab dianggap merusak suasana Islami Kota Tanjung Balai. Pada saat itu BAKUMSU turut mengecam tindakan tersebut,” singkap Tongam.   BAKUMSU dipastikannya tidak sepakat terhadap tindak kekerasan SARA karena merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap instrumen-instrumen hak asasi manusia yang secara yuridis telah dibentuk dan berlaku umum untuk wilayah Indonesia. Diantaranya termaktub dalam UUD 1945, UU No 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik serta UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah diingatkan Tongam serius mengemban tanggungjawab konstitusional melindungi hak beragama setiap warga negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 F ayat (1) dan (2), pasal 29 ayat (2). “Pemerintah juga wajib melindungi hak asasi para korban dengan mengambil tindakan sebagai pemangku UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” cetusnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_GBEN