Skip to content

Rengkuhan Leviathan dalam RUU TNI

Mario Yosryandi Sara

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), telah memicu gelombang kritik dan aksi protes di pelbagai kota hingga hari ini. Padahal selama proses revisi, masyarakat sudah mengingatkan setidaknya keterbukaan adalah salah satu dasar dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bukti ketertutupan yang dilakukan DPR bersama Kementerian Pertahanan di Hotel Fairmont, adalah simpang siurnya keberadaan naskah akademik, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan draf UU TNI teranyar.

Mengingat, RUU TNI sebelumnya bukan termasuk 41 RUU Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas 2025 yang ditetapkan 19 November 2024. RUU TNI baru diusulkan masuk prolegnas prioritas sebagai inisiatif pemerintah pasca dikeluarkannya Surat Presiden Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025. Usulan tersebut kemudian disetujui melalui rapat paripurna pada 18 Februari 2025.

Perubahan regulasi tersebut, alih-alih memperkuat kontrol sipil atas militer, sekiranya membalikan peluang lebih besar bagi TNI untuk terlibat dalam urusan produk kebijakan dan kepentingan birokrasi-sipil. Dengan perluasan kewenangan militer di luar fungsi pertahanan dan masuknya perwira aktif secara masif ke ranah sipil (de facto selama rezim Joko Widodo), secara terang-terangan telah menghidupkan kembali ingatan kolektif dan arogansi maupun kejahatan dwifungsi ABRI sepanjang kekuasaan masa Orde Baru (Orba). Sebagaimana diketahui, sepatutnya penghapusan dwifungsi ABRI di masa pemerintahan Gus Dur merupakan bagian dari enam tuntutan reformasi, diantaranya; penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, amandemen UUD 1945, adili Soeharto dan kroni-kroninya, penghapusan dwifungsi ABRI, serta pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Meski jauh sebelum itu, tahun 1971 melalui Selections from the Prison Notebooks Antonio Gramsci sudah memberikan semacam alarm, jika negara tidak hanya menunggangi dominasi (koersi), tetapi juga melalui hegemoni. Yang artinya, pengesahan misi terselubung RUU TNI sejatinya merupakan upaya melegitimasi ekspansi militer secara de jure ke berbagai sendi kehidupan sipil yang dikemas menggunakan alasan stabilitas nasional dan kepentingan strategis negara.

Akan tetapi, kondisi negara demokrasi yang sehat hakikatnya dijamin oleh supremasi sipil yang dijadikan pedoman hubungan antara militer dan pemerintah. Mengutip ulasan Samuel Huntington (1957), bahwa sistem demokrasi militer mestinya tunduk pada otoritas sipil guna mencegah dominasi militer dalam urusan politik-kebijakan. Namun dengan pengesahan RUU TNI justru akan melemahkan prinsip ini dengan memperbolehkan perwira aktif mendominasi jabatan-jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara.

Dengan legitimasi hukum yang diberikan oleh DPR, kini TNI memiliki akses yang amat luas, mulai dari birokrasi, kebijakan, urusan ekonomi, hingga sektor-sektor strategis lainnya. Hal demikian tentu berlawanan dengan model demokrasi yang mapan, yang  mana militer seharusnya tidak memainkan peran politik atau administratif di luar tugas keamanan dan pertahanan negara. Dan bilamana peran TNI kian diperluas tanpa diimbangi kontrol yang ketat dari masyarakat, situasi negara mengalami arus balik model kekuasaan otoritarian dengan wajah dan wujud yang baru atau neo-Orba.

Neo-Militerisasi

Persengkongkolan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan DPR demi mempercepat pengesahan RUU TNI, mencerminkan kecenderungan meningkatnya militerisme dalam pemerintahan sipil di Indonesia amat sistematis. Dalam On the Concept of History (1940) Walter Benjamin turut mempertegas, bahwasannya setiap kebangkitan otoritarianisme selalu bermula dari kegagalan demokrasi ketika mengontrol aparat kekuasaannya sendiri. Sebab militerisme bukan semata-mata soal dominasi angkatan bersenjata di sektor pertahanan dan keamanan, tetapi bagaimana perwira TNI aktif secara perlahan mereduksi kewenangan institusi-institusi sipil, kemudian mengganggu, ikut menunggangi dinamika elektoral dan produk kebijakan publik.

Contohnya pasal-pasal kontroversial seperti perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena telah memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian/lembaga, namun melalui RUU TNI jumlah kementerian/lembaga yang bisa diisi prajurit aktif bertambah jadi 16.

Perubahan Pasal 47 jelas semakin merusak pola organisasi dan jenjang karir ASN karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia. Sebelumnya, Imparsial mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karir ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang.

Ada pula upaya usulan penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Ketentuan ini terangan-terangan merupakan pandangan keliru sekaligus gambaran kemandekan upaya reformasi tubuh TNI. Militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Ini merupakan hakikat militer di negara manapun sebagai tertera di Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal itu menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif melalui pemilu dan jabatan politis lainnya.

Sudah sepantasnya tugas dan fungsi militer hadir guna menghadapi perang/pertahanan, merupakan kewajiban yang mulia dan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit. Karena itu para prajurit TNI dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam pelbagai bidang, bukan berbisnis. Jadi tak dapat disangkal, kontroversi RUU TNI selain mengikis prinsip netralitas militer, lebih dari itu negara berupaya mensolidkan patronase politik di tubuh TNI sendiri. Dengan kata lain, pengesahan RUU TNI sengaja didesain untuk memperlebar sirkuit oligarki ekonomi-politik di pemerintahan.

Selain daripada itu, pembenaran utama pengesahan RUU TNI yaitu bagian dari kebutuhan negara guna merespon ancaman keamanan nasional yang semakin kompleks. Isu terorisme, separatisme, dan konflik sosial yang kerap kali dijadikan alasan memperkuat peran militer. Tetapi, logika tersebut sangatlah problematik dikarenakan mengabaikan akar persoalan dari carut marutnya konflik yang bersumber pada ketidakadilan sosial dan kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat.

Michel Foucault dengan paradigma governmentality-nya menjelaskan, selayaknya negara modern, seringkali menggunakan narasi keamanan, kepentingan, dan kedaruratan sebagai alat memperluas kontrol terhadap masyarakat dan sumber daya. Berkaca dari kondisi Indonesia, alih-alih membangun sistem keamanan yang berbasis pada supremasi sipil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, revisi ini sebaliknya menunjukkan bila negara lebih memilih jalan koersif dengan memperbesar ruang dan manuver politik militerisasi dalam ranah-ranah sipil.

Arus Balik Reformasi

Arogansi pengesahan RUU TNI selain cacat konstitusi, secara tak langsung telah mengancam hak-hak masyarakat kelas menengah hingga komunitas marjinal melalui wujud dan wajah yang berbeda dengan Orba. Misalnya, kekerasan struktural akan sangat berpotensi meningkat, terutama sehubungan dengan pengelolaan konflik sosial dan kebijakan keamanan dalam negeri. Dari banyak kasus, keterlibatan TNI atas implementasi program strategis nasional (PSN), serta represi terhadap gerakan sosial masyarakat baik di perkotaan hingga pedesaan, telah menjadi perhatian serius. Keadaan saat ini mencerminkan betapa mengakarnya militer bagi kepentingan penguasa, hingga dimensi ancaman atas kebebasan sipil pun makin krusial dan kompleks.

Pengalaman pahit di masa lalu kiranya telah memberikan peringatan keras dan refleksi mendalam bagi kita, yang dimana ekspansi ABRI ke pelbagai aspek kehidupan bernegara sejatinya melahirkan represi dan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap para aktivis, jurnalis, kaum buruh, dan kelompok oposisi, bahkan masyarakat pedesaan (petani) pun terkena imbas secara tragis. Sebagaimana prahara 1965-1966 yang menghilangkan sekitar 3 juta nyawa, Operasi Militer dan Seroja di Timor-Timur (1975-1999), Tragedi Tanjung Priok di Jakarta Utara (1984) terdapat 79 orang yang tewas, Peristiwa Talangsari di Lampung (1989) terdapat 246 orang meninggal, Operasi Penembakan Misterius atau Petrus (1983-1985), Pembunuhan Marsinah (1993), hingga penculikan aktivis, Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (1997-1999) .

Yang menjadi pertanyaan, dengan terbukanya ruang militer begitu luas, apakah kita sedang mengalami arus balik ke masa kelam dibawa seorang pemimpin bertangan besi selama 32 tahun? Revisi UU TNI pada dasarnya merupakan ancaman nyata bagi eksistensi supremasi sipil. Alih-alih memperkuat kontrol demokrasi atas militerisme, regulasi ini dengan penuh muslihat sudah membuka kotak pandora militeristik gaya baru (neo-militerism) yang menggurita ke tubuh pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat.

Reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan keringat, darah, dan air mata seharusnya dijadikan refleksi guna memastikan militer digerakkan kembali ke Barak dan tidak lagi mengendalikan dimensi politik hingga ekonomi. Meski hasil revisi yang digagas bersama DPR, menampilkan demokrasi yang setengah hati—sebuah kondisi di mana sipil masih tampak berkuasa, mustahilnya militer dengan gesit mengambil alih peran-peran strategis. Dan bila publik mempercayakan negara memperluas aparatus koersifnya tanpa kontrol, lantas menutup mata terhadap jenderal-jenderal yang mengutak-atik kebijakan politik, dengan penuh kesadaran negara sedang berjalan menuju apa yang Thomas Hobbes sebut sebagai Leviathan—negara yang absolut dan tak tersentuh oleh kehendak rakyatnya.

Penulis adalah anggota Associate Scolarium di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

Legal and human rights empowerment for social and ecological justice

bakumsu@indo.net.id

BAKUMSU

Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara

Jalan Bunga Kenanga No. 11 D,

Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Kecamatan Medan Selayang, Medan 20156

en_GBEN