Catatan akhir tahun 2014 ini berdasarkan pada penilaian sejauh mana negara (Lembaga Pemerintahan) menjalankan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) Hak Asasi Manusia di Indonesia khususnya di Sumatera Utara sepanjang 2014.
Kewajiban untuk menghormati diantaranya ditandai dengan adanya pengakuan atas hak asasi manusia di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku, kewajiban untuk melindungi diantaranya ditandai dengan adanya peran negara secara aktif dalam melindungi setiap individu warganya dari ancaman kekerasan atau pelanggaran HAM. Sementara kewajiban untuk memenuhi diantaranya ditandai dengan tersedianya fasilitas dan akses bagi warganya untuk mendapatkan hak-haknya.
Penilaian disertai tuntutan ini disampaikan oleh Jaringan Advokasi Sumut. Sebuah forum organisasi masyarakat sipil yang fokus dalam advokasi dan pemberdayaan rakyat lintas sektor/isu antara lain isu HAM dan demokrasi, tani, buruh, tambang, masyarakat adat, lingkungan di Sumatera Utara, terdiri atas Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (BAKUMSU), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Yayasan Ate Keleng (YAK), Perkumpulan Diakonia Pelangi Kasih (PDPK), Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Rakyat Selaras Alam (Petrasa), Lentera, Bitra Indonesia, Yayasan Pijar Podi (YAPIDI) dan Pelpem GKPS.
II. METODE
Metode atau pendekatan yang dilakukan dalam catatan akhir tahun 2014 ini adalah dengan menyoroti beberapa aspek penting yang terkait langsung dengan SIPOL dan EKOSOB (regulasi, konflik agraria, korupsi dan penegakan hukum, lingkungan dan sebagainya). Selain itu, kondisi penyelesaian kasus-kasus struktural juga dijadikan sebagai “alat bantu” untuk mengukur dan menilai.
Penggambaran aspek dan kasus tersebut tidak hanya berbasis fakta-fakta kuantitatif (angka) tetapi juga fakta-fakta kualitatif. Diharapkan perpaduan ini maka akan tergambar secara lebih jelas sejauhmana hak-hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya rakyat dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara sepanjang 2014.
III.FAKTA DAN KESIMPULAN
1. Belum ada upaya yang serius dalam pembuatan dan penerapan regulasi yang berkaitan langsung dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi dan hajat hidup orang banyak. Di antaranya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang hingga masa akhir legislatif periode 2008-2014 tidak kunjung disahkan. Sebaliknya, ada beberapa regulasi yang justru berpotensi meminggirkan rakyat. Misalnya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) menambah daftar undang-undang yang dapat mengkriminalisasi rakyat yang memperjuangkan haknya Regulasi yang bermasalah dan diskriminatif ini akhirnya mengarah pada kriminalisasi rakyat. Selain itu, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Kementerian Dalam Negeri bahwa pada tahun 2012 ditemukan 351 dari 9000 Peraturan Daerah (Perda) yang ada di Indonesia bermasalah. Peraturan daerah ini tentunya berpotensi menyebabkan pembedaan, pembatasan dan pengabaian kesempatan warga negara, khususnya kelompok rentan (masyarkat adat/lokal, petani, kelompok minoritas). Pembatalan, pencabutan, harmonisasi ataupun penyelarasan peraturan perundang-undangan bermasalah tersebut hingga saat ini masih belum jelas.
2. Belum adanya resolusi yang jelas penyelesaian konflik agraria. Khusus Sumatera Utara, merupakan salah satu propinsi yang memiliki konflik agraria terbesar sepanjang tahun (menyumbang 10,84% konflik agraria secara nasional (KPA ;2013). Tumpang tindih hak penguasaan dan pemanfaatn tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada korporasi baik BUMN maupun swasta dalam bentuk perusahaan perkebunan, pertambangan, perusahaan Hutan Industri diantaranya PT. Perkebunan Negara (PTPN), PT Lonsum, PT SMART, PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT Dairi Prima Mineral (DPM) dan PT Gorga Duma Sari (GDS) telah menyebabkan tercerabutnya hak rakyat khususnya masyarakat adat/lokal/petani dari tanahnya dan terjadinya konflik yang berkepanjangan berujung pada korban nyawa dan kriminalisasi dan kerusakan lingkungan.
3. Belum adanya perbaikan kondisi buruh ditandai dengan penetapan UMP dan UMR yang rendah dan telah dikecam oleh buruh. Selain itu kondisi kerja yang buruk terutama buruh perkebunan yang diperkirakan sekitar 70% buruh di perkebunan adalah Buruh Harian Lepas (Sawit Watch 2012). Sistem hubungan kerja ini mengakibatkan buruh rentan dengan kesewenang-wenangan, dan tidak adanya kepastian kerja. Dari beberapa penelitian terungkap adanya indikasi kerja paksa buruh di perkebunan kelapa sawit skala besar di Sumut. Buruh mengalami perlakuan buruk, upah rendah, target kerja yang tinggi, pemberlakukan hukuman dan denda yang tidak adil, tidak diberikannya alat kerja dan alat keselamatan kerja yang memadai, minimnya fasilitas air bersih, kesehatan, sarana dan prasarana sekolah dan juga masih ditemukan pekerja anak.
4. Dalam kajian perizinan pemanfaatan/pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh KPK di tahun 2013 semakin menguatkan fakta bahwa ada kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam. Temuannya mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap proses perizinan tersebut diduga penuh dengan praktek suap, konflik kepentingan, pemerasan dan sebagainya. Hasil Kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 2012 juga mengungkap bahwa penguasaan ratusan juta hektar luas kawasan hutan belum sepenuhnya menjadi jalan kemakmuran bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total 41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada pengelolaan skala kecil dan masyarakat adat.
5. Belum adanya kejelasan kasus pelanggaran HAM berat (peristiwa 65, Trisaksi, Semanggi, Munir, Tanjung Priok, Papua dan lainnya). Padahal Komnas HAM dan pihak independen lainnya telah mengungkap beberapa temuan yang memperkuat dugaan terjadinya pelangggaran HAM berat di Indonesia. Beberapa rekomendasi Komnas HAM juga terkesan dipetieskan oleh Kejaksaan Agung.
IV.TUNTUTAN
Tahun 2015 mempunyai nilai tersendiri karena merupakan masa-masa awal pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang mengusung adanya revolusi mental dan visi-misinya yang terangkum dalam Nawa Cita. Selain itu, tahun 2015 juga ditandai dengan penerapan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang desa. Tahun 2015 juga akan ditandai dengan penyelenggaraan pemilukada di 241 kapupaten/kota di seluruh Indonesia, termasuk di antaranya 25 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Maka dengan ini kami menyampaikan beberapa tuntutan yang dikelompokkan ke dalam tuntutan umum (konteks nasional) dan tuntutan khusus (konteks Sumut), yakni:
I.Tuntutan Umum
Adanya konsistensi presiden tanpa syarat dalam melaksanakan visi misi kerakyatan yang terangkum dalam Nawa Cita dengan langkah konkrit antara lain:
1. Mengadopsi dan menjalankan kebijakan berdasarkan prinsip partisipasi, akuntabilitas, non-diskriminasi, keadilan, dan transparansi dalam menjalankan pemerintahan. Program kerja yang dijalankan hendaknya mencakup kepentingan semua kelompok terutama kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan seperti tani, masyarakat adat/masyarakat lokal, buruh, kelompok etnis/agama minoritas, penyandang cacat, sektor informal, pengungsi, kaum miskin pedesaan dan kelompok rentan lainnya.
2. Segera melakukan upaya konkrit pemberantasan korupsi dan menentang setiap usaha yang akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Setidaknya dengan merujuk pada Buku Putih KPK tentang Gerakan Anti Korupsi Bagi Presiden 2014–2019, secara garis besar ada delapan agenda anti korupsi yang harus diambil oleh presiden terpilih yakni agenda reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi kependudukan, agenda pengelolaan sumber daya alam dan penerimaan negara, agenda ketahanan dan kedaulatan pangan, agenda perbaikan infrastruktur, agenda penguatan aparat penegak hukum, agenda dukungan pendidikan nilai dan keteladanan, agenda perbaikan kelembagaan partai politik dan agenda dukungan pendidikan nilai integritas dan keteladanan.
3. Segera melakukan langkah-langkah untuk mengungkap dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM baik secara politik maupun secara hukum berdasarkan beberapa rekomendasi yang pernah dikeluarkan oleh Komnas HAM. Secara politik yakni dengan melakukan permintaan maaf atas nama negara, rehabilitasi dan kompensasi kepada korban, sementara secara hukum supaya segera mewujudkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hok untuk mengadili para terduga pelanggar HAM berdasarkan Undang-undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru. Komnas HAM segera memanggil pihak-pihak baik yang diduga terlibat pelanggaran HAM untuk diproses secara hukum.
II.Tuntutan Khusus
1. Adanya perlindungan, penghormatan dan perlindungan HAM rakyat dalam penerapan Undang-Undang no. 6 tahun 2014 tentang desa.
2. Adanya penyelesaian berbasis perlindungan, penghormatan dan perlindungan HAM rakyat terutama masyarakat adat/lokal atas konflik berkepanjangan antara masyarakat adat/lokal dengan PT.Toba Pulp Lestari (PT. TPL), sebuah perusahaan hak pengelolaan hutan tanaman Industri HPH/HTI dengan mencabut izin/konsesi PT TPL. Selain itu, segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kehutanan No 41 tahun 1999 terutama status antara hutan milik negara dan merupakan hutan hak adat. Pemerintah maupun legislatif terutama di Sumut segera mengeluarkan kebijakan dalam bentuk surat keputusan dan peraturan daerah yang sifatnya perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat sebagai tindak lanjut dari adanya putusan MK No.35 tahun 2012 yang pada intinya menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
3. Adanya resolusi menyelesaikan konflik agraria di Sumut dengan menegakkan reforma agraria sejati berdasarkan amanat konstitusi negara terutama Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan UUPA No. 5 tahun 1960. Selain itu, perlu segera mengkaji ulang program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Berdasarkan penelitian beberapa lembaga independen, kebijakan ini berpotensi akan semakin meperkeruh konflik agraria, menghilangkan esensi dari pembangunan yang partisipatif bagi masyarakat, lebih memihak kepentingan modal besar.
4 Adanya tindakan tegas atas pelanggaran hak rakyat akibat kehadiran PT. Dairi Prima Mineral (PT. DPM) di Kabupaten Dairi dengan segera mengkaji ulang dan mencabut izin seluruh perizinan perusahaan tersebut sesuai dengan ketentuan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan.
5. Adanya penyelesaikan kasus pembabatan hutan Tele oleh PT Gorga Duma Sari (PT GDS). Hutan tersebut merupakan penyangga untuk Samosir khususnya Harian Boho, Tamba, Sihotang dan Tele sekitarnya yang terus berlanjut akan berpotensi besar mengakibatkan banjir bandang dan kerugian lainnya bagi masyarakat. Berikan sanksi yang tegas kepada perusahaan dan pemerintah kabupaten Samosir atas pelanggaran lingkungan dan pemberian izin yang merugikan masyarakat.
6. Adanya langkah konkrit untuk memenuhi hak-hak buruh terutama UMP dan UMR yang layak bagi buruh, perbaikan kondisi kerja terutama di sektor buruh perkebunan dan sanksi hukum yang tegas kepada pengusaha yang terbukti melanggar hak buruh.
7. Dalam hal menyikapi konflik agraria, perlu adanya keseriusan institusi penegak hukum terutama kepolisian daerah (Polda) Sumut dan jajarannya dari tingkat kabupaten/kota sampai kecamatan (Polres dan Polsek) untuk melaksanakan Perkap Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian undang-undang tentang HAM nomor 39 tahun 1999, Kovenan Internasional Sipil dan Politik (disahkan menjadi UU.No.12/2005 tentang Konvenan Sipol) dan Kovenan Internasional Ekonomi Sosial dan Budaya (disahkan menjadi UU.No 11/2005 tentang Konvenan Ekosob).
8. Adanya kepastian dan keberlanjutan relokasi penduduk, pemberian bantuan pangan, kesehatan dan pendidikan, rehabilitasi pengungsi dan pemulihan kondisi infrastruktur yang rusak dan pelayaan publik berjalan dengan efektif dan efektif bagi korban bencana Sinabung.
Medan, 30 Desember 2014