Home / TABLOID SOERAK / Korban Sinabung Menanti Realisasi Janji Pemerintah

Korban Sinabung Menanti Realisasi Janji Pemerintah

Rumah dan ladang mereka telah hancur akibat material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Sinabung. Satu-satunya harapan mereka supaya relokasi yang dijanjikan pemerintah segera terealisasi. Sehingga mereka bisa memulai kehidupan yang baru.

Suatu Minggu pagi di Universitas Karo, Kabanjahe. Waktu menunjukkan pukul 09.30 saat aktivitas pengungsi korban letusan Gunung Sinabung dimulai. Hujan baru saja berhenti setelah sejak dini hari mengguyur Kota Kabanjahe. Anak-anak mulai bemain kelereng dilapangan yang masih basah. Aktivitas memasak sudah mulai terlihat di dapur umum yang dibangun ditengah-tengah pengungsian. Ada juga sekelompok pengungsi yang mulai gotong royong, menutup genangan air di lapangan supaya tidak semakin becek.

Sementara ibu boru Ginting duduk didepan ruangan penyimpanan logistik. Baru saja ia minta beras untuk makanan ayamnya. Ia memandang ke arah sekelompok bapak ibu yang membawa cangkul, parang serta bekal. Mereka menaiki sebuah mobil. Kata ibu Ginting, mereka pengungsi yang akan bekerja ke ladang orang atau masyarakat Karo menyebutnya Ngaron atau Aron. “Kalau hari-hari biasa jam delapan pagi sudah berangkat. Ini lantaran hari Minggu, ditambah hujan makanya baru berangkat jam segini,” kata ibu Ginting.

Ibu Ginting cerita sebagian besar pengungsi korban Gunung Sinabung bekerja menjadi buruh kebun untuk menyambung hidup. Mereka terima bersih enam puluh ribu rupiah perhari. Pagi hari mereka dijemput, sorenya diantar kembali ke pengungsian. Mereka bawa bekal makan siang masing-masing. Mereka bekerja di kebun yang tersebar dari Berastagi hingga Kabanjahe.

Menjadi buruh kebun adalah salah satu pilihan mereka untuk mendapat uang. Uang inilah yang mereka gunakan untuk membeli keperluan sehari-hari, biaya sekolah anak hingga biaya adat. Ibu Ginting pun terpaksa jadi buruh kebun sembari menunggu kebun yang ia sewa bisa dipanen.

Agus Sastra Ginting, koordinator pengungsi UKA 1 mengatakan bantuan dari masyarakat memang tetap ada namun kebanyakan dalam bentuk sembako. Sementara tuntutan hidup pengungsi sangat banyak dan butuh uang. Apalagi mengingat sudah 13 bulan mereka mengungsi. Uang tabungan mereka pun sudah habis.

Pengungsi di UKA 1 adalah masyarakat dari Desa Simacem, Bakerah dan Kutambaru. Mereka sudah diberikan bantuan oleh pemerintah sebesar 1,8 juta untuk sewa rumah dan 2 juta untuk sewa lahan. Selain itu mereka juga akan direlokasi ke Sosar karena desa dan lahan pertanian mereka telah hancur akibat abu vulkanik dan awan panas. Desa mereka terletak di Kaki Gunung Sinabung dan menjadi tempat curahan lahar panas dan awan panas. Mereka dijanjikan mendapat tempat tinggal baru dan lahan baru untuk bertani.

 Desa Mardinding

Bertahan di Bawah Ancaman Bencana

Aliran lahar dingin menuju desa mereka. Hampir tiap hari debu vulkanik menyelimuti pemukiman dan perladangan. Belakangan pepohonan dilereng gunung mati kering. 269 kepala keluarga di desa itu memilih bertahan meski dibawah ancaman bencana.

Sekitar pertengahan Oktober lalu, hujan deras mengguyur Desa Mardinding, sebuah desa tepat di kaki Gunung Sinabung. Sejak pukul 20.00 WIB malam itu, hujan deras turun bersamaan dengan petir. Minarti Sembiring bersama suami dan dua anaknya mulai cemas. Suaminya gelisah. Mondar-mandir dirumah. Sementara ia memeluk kedua anaknya.

Ia mengatakan tidak bisa membedakan mana suara petir dan suara gunung. Sebab mereka sudah trauma dengan gemuruh Sinabung. Terkadang suara mobil pun mereka pikir suara Sinabung. Dan malam itu mereka hanya bisa pasrah kalau-kalau suara yang mereka dengar itu suara dari gemuruh Sinabung. “Suami saya sudah pasrah, gimanapun kejadiannya. Kami duduk saling berdekatan. Kata nya kalau terjadi apa-apa supaya kami mudah dicari,” ujar Minarti.

Ternyata malam itu Sinabung mengeluarkan lahar dingin. Sekitar pukul 23.30, mereka merasakan getaran kuat. Setelah itu tidak berapa lama air dan lumpur mengaliri desa mereka, meluncur dari lereng gunung. Ke esokan paginya, mereka melihat sebuah aliran terbentuk melintasi desa. Sejumlah batang-batang pohon juga ikut terbawa aliran.

Selang satu minggu kemudian, kejadian serupa terulang lagi. Namun kali ini tidak hanya membawa lumpur dan kayu, batu-batu besar ikut serta. Akibatnya jalan desa mereka sempat terputus karena tertimbunan material lahar dingin. “Tumpukan tanah, batu, pohon sudah setinggi jambur menutup jalan,” kata Minarti.

Akibat lahar dingin, lahan pertanian mereka pun hancur kembali. Padi, kopi, serta sayuran yang mereka tanam rusak tertimbun lumpur dan pepohonan. Sementara mereka kembali ke desa dengan harapan bisa memulai kehidupan selepas mengungsi dengan bertani. “Kopi udah mulai nampak bunganya, datang lagi lahar dingin habis semua, gak ada lagi pengharapan kami disini,” kata Minarti.

Selain lahar dingin, hampir setiap hari Abu vulkanik menutupi Desa Mardinding. Kalau hujan abu mengarah ke desa, seharian mereka akan mengurung diri di rumah. Abu vulkanik membuat sayuran yang mereka tanam mati. Bahkan pohon alpukat milik warga terlihat mulai gundul. Padahal kata Minarti, sebelum Sinabung mulai erupsi, Desa Mardinding mampu menghasilkan kopi satu ton dalam satu minggu. Termasuk tanaman andalan lain seperti alpukat, cabe dan tomat. Sekarang justru mereka tidak bisa menghasilkan apa-apa.

Abu vulkanik tak hanya berdampak bagi tanaman namun bagi manusia juga. Sudah banyak masyarakat desa yang menderita batuk dan flu. Minarti paling khawatir terhadap anak-anak mereka karena susah melarang anak-anak bermain diluar. Anak-anak pun sangat susah memakai masker. Sementara untuk membantu pelayanan kesehatan masyarakat, tenaga medis di desa sudah tidak ada lagi. Bidan yang selama ini membantu mereka sudah meninggal dunia. Sehingga kalau sakit, mereka harus berobat ke puskesmas Tigan Nderket.

Minarti yang juga menjabat sebagai pelaksana kepala desa Mardinding mengatakan seluruh warga desa sempat mengungsi selama delapan bulan pasca letusan Sinabung tahun 2013. Kemudian bulan Juni tahun 2014, pemerintah mengembalikan mereka ke Mardinding dengan alasan Desa mereka sudah aman dari erupsi. Badan Nasional Penanggulangan Becana pun menilai desa mereka aman karena belum ditemukan lubang erupsi yang mengarah ke desa Mardinding.

Awalnya mereka memang sudah merasa aman tinggal di desa. Ladang yang berbulan-bulan ditinggalkan diolah kembali. Sawah-sawah yang sudah mati ditanami kembali. Debu vulkanik yang sering menutup desa mereka pun tidak begitu mereka takuti lagi. Namun rasa nyaman itu berubah setelah lahar dingin menerjang desa mereka.

Belakangan di lereng gunung sudah terjadi longsor. Menurut Minarti hal ini disebabkan pohon yang tumbuh di lereng gunung mulai mati. Bahkan semua pohon yang dulunya hijau, belakangan sudah mulai kering dan menguning. Otomatis ketika hujan, air yang di lereng tidak ada yang menahan. Tanahpun tidak menyerap lagi karena debu vulkanik yang melapisi tanah. “Debu vulkanik itu akan jadi seperti semen kalau terkena air. Sehingga air hujan tidak bisa lagi diserap masuk ke tanah,” katanya.

Hal inilah yang membuat Minarti merasa tidak aman tinggal di desa. Meskipun pemerintah mengatakan hingga saat ini desa mereka masih aman. “Bagaimana merasa aman tinggal di desa ini kalau bertani pun kita tidak bisa. Kita juga takut karena pohon-pohon di lereng gunung sudah mati. Kami takut sekali apalagi kalau hujan deras. Takutnya desa ini terbawa air. Pohon-pohon di desa sudah mulai mati karena terus-terus kena abu, apa lagi manusia?” paparnya.

Minarti dan masyarakat sering berdiskusi membicarakan nasib mereka kedepan. Mereka memilih bertahan di desa karena tidak tahu lagi harus kemana. Untuk memulai kehidupan baru ditempat yang baru mereka mengaku tidak punya modal lagi. Semua tabungan sudah terkuras habis untuk keperluan selama dipengungsian dan biaya sekolah anak-anak mereka.

“Setiap ada kejadian yang tidak diinginkan. Kami sudah pasrah. Kalau mati di desa ini, kami sudah jadi satu kuburan semua. Kalau ada yang taruh satu bunga dikuburan kami, udah kenaklah itu sama kami semua. Tapi kita juga tidak ingin itu terjadi, kita ingin selamat,” papar Minarti.

Saat ini ibu-ibu di desa sangat menghawatirkan kelanjutan sekolah anak-anak mereka, khususnya yang SMP dan SMA. Setiap hari anak-anak mereka membutuhkan ongkos untuk sampai ke sekolah. Sementara penghasilan dari kebun tidak ada lagi. Sehingga beberapa orang tua di desa mulai bekerja sebagi buruh kebun memetik cabe atau tomat. Mereka bisa mendapat enam puluh ribu hingga tujuh puluh ribu per harinya. “Belakangan kami mocok-mocoklah dek, biar ada ongkos anak untuk sekolah. Kalau tabungan, berapapun sudah habis semuanya,” katanya.

Lesma dari Yayasan Ate Keleng Parpem GBKP mengatakan bahwa masyarakat di desa Mardingding sangat membutuhkan bantuan dari berbagai aspek terlebih dalam hal advokasi. Selama ini Yayasan Ate Keleng mendorong masyarakat supaya mendapat hak-hak mereka yang telah dijanjikan pemerintah. “Masyarakat yang terkena bencana ini juga punya hak terhadap segala yang telah dijanjikan pemerintah. Hal inilah yang terus kita dorong kepada mereka,” ujar Lesma.

Berdasarkan dialog yang mereka lakukan dengan masyarakat di Mardinding, yang paling menghawatirkan mereka adalah masa depan pendidikan anak-anak. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk membantu pendidikan anak-anak mereka adalah dengan mendorong pemerintah memberi beasiswa kepada anak-anak. Beberapa warga ada yang terima beasiswa namun ada juga yang tidak tahu sama sekali terkait informasi beasiswa.

Selain itu pemerintah Karo ternyata pernah menjanjikan mobil untuk mengangkut anak-anak Mardinding ke sekolah. Namun hingga saat ini janji itu belum terealisasi. Menurut Lesma advokasi bersama akan tetap diupayakan hingga tahun depan terhadap janji-janji pemerintah yang belum ditepati.

Selain itu, menurut Lesma masyarakat Mardinding perlu dikuatkan dalam psikologis mereka. Mereka harus tetap didorong untuk optimis menghadapi kondisi sulit. Beberapa desa mencoba bersahabat dengan Sinabung. Mempelajari kondisi dimana jalur panas dan jalur dingin. Mereka juga berupaya untuk terus membangun komunikasi dengan pihak terkait seperti pemerintah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. “Desa Mardingding dan Guru Kinaya tetap berupaya menolong diri mereka. Mereka pasrah namun tetap didorong bagaimana berusaha bertahan hidup,” ujar Lesma.

Relokasi Harus Segera, Jelas dan Transparan

Pada Rabu (29/10) lalu, Presiden Joko Widodo berkunjung ke lokasi pengungsi Gunung Sinabung. Selain memberikan bantuan berupa bahan kebutuhan pokok dan tabungan elektronik kepada korban, salah satu instruksi presiden saat itu adalah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, guna mempercepat relokasi korban pengungsi Sinabung.

Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar segera menindaklanjutinya dengan mengeluarkan izin pinjam pakai lahan serta akses jalan pada kawasan hutan produksi tetap (HP) Siosar, dan hutan lindung (HL) sekitar 458,8 hektar. Ke depannya, publik perlu memastikan pemberian bantuan pangan, kesehatan dan pendidikan, rehabilitasi pengungsi dan pemulihan kondisi infrastruktur yang rusak dan pelayaan publik berjalan dengan baik.

Proses relokasi terutama pembagian lahan dan rumah yang akan dilakukan di lahan baru perlu dikawal oleh publik. Hal ini untuk memastikan terpenuhinya hak asasi pengungsi Sinabung. Demikian halnya dengan pelaksanaan perundang-undangan terutama Peraturan Menteri Kehutanan No: P.16/Menhut II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang baik oleh pengambil keputusan (pemerintahan) maupun oleh pihak-pihak lainnya.

Dari pengamatan Soerak di lokasi, proses relokasi masih berjalan. Dari berbagai sumber diperoleh informasi bahwa proses relokasi memang akan dilakukan secara bertahap. Agus Sastra Ginting, koordinator pengungsi UKA 1 mengatakan relokasi pertama sebanyak 50 keluarga. Akhir Desember diperkirakan relokasi tahap pertama akan berlangsung dan masyarakat sudah bisa menempati rumah yang dibangun pemerintah. “ Waktu pak Jokowi datang, dijanjikan sampai tanggal 26 Desember sudah selesai 50 unit. Belum tahu siapa yang duluan dipindah, untuk satu desa saja belum cukup. Mungkin ini akan bertahap,” ujar Agus.

Agus mengatakan baru-baru ini salah seorang warga dari pengungsian berkunjung ke Sosar, melihat daerah relokasi. Beberapa rumah sudah mulai terlihat bentuknya, namun sebagian besar masih berupa pondasi. Lokasi relokasi ini dijaga dan dikerjakan oleh TNI. Hingga sekarang yang membuat Agus bingung adalah bagaimana menentukan siapa yang terlebih dahulu pindah. Sebab jumlah rumah yang akan dibangun tidak sesuai dengan jumlah warga. Bahkan untuk satu desapun belum cukup.

Saat ini jumlah pengungsi yang bertahan dipengungsian UKA 1 sebanyak 86 kepala keluarga dari 245 kk yang awalnya mengungsi di sana. Sebagian besar pengungsi sudah meninggalkan pengungsian dan tinggal menyebar. Mereka menggunakan uang kontrak rumah yang diberikan pemerintah. Agus mengatakan dengan uang segitu masyarakat hanya mampu mengontrak kos atau kamar kecil. Sehingga banyak juga yang memilih untuk tetap bertahan dipengungsian.

Seperti halnya dengan ibu Ginting. Ia memilih tinggal disebuah ruangan ukuran 3×6 meter di pengungsian. Dulunya ruangan yang ia tempati sekarang adalah gudang. Namun ia minta ijin kepada kepala posko untuk tinggal disana. Beruntung ia diijinkan. Sebelumnya ia tinggal bersama pengungsi lain disebuah ruangan. Sekitar 30-60 keluarga tinggal diruangan itu, tanpa ada sekat, hanya dipisahkan barang masing-masing.

Ibu ginting berharap relokasi yang dijanjikan pemerintah secepatnya terlaksana sehingga ia bisa punya rumah kembali dan punya lahan sendiri untuk diolah. “Dulu ladang kita lebar, rumah kita besar. Tapi semua sudah rusak gara-gara awan panas dan batu-batu besar. Semua itu kita tinggalkan. Kita tunggulah pemerintah memindahkan ke Sosar. Itulah harapan kita,” katanya.

Sama halnya dengan Tinading Boru Munte. Ia salah satu lansia yang masih bertahan dipengungsian. Usianya 79 tahun. Tiap hari ia bingung mau melakukan apa dipengungsian karena sudah terlalu lama mengungsi. Sementara untuk bekerja di ladang sudah tidak kuat lagi. Selain itu, menurutnya pemilik kebun lebih memilih mempekerjakan yang masih muda ketimbang ia yang sudah tua.

Ia cerita kalau dulu ia punya lahan kopi. Sehabis makan siang biasanya ia petik kopi. Kemudian sorenya digiling, dicuci dan dikeringkan. Besoknya ia sudah bisa jual dan dari sanalah ia bisa mendapat uang. Namun sekarang penghasilannya sama sekali tidak ada, selain mengandalkan pemberian orang. “Mekuah atendu, tadingken nukur sirihku (Kalau kau sayang samaku tinggalkanlah untuk beli sirihku),” katanya. Ia berharap bisa segera memulai kehidupan baru di tanah relokasi yang dijanjikan pemerintah. “Harapannya kesana. Kalau tidak, mau kemana kami? Rumah dan ladang udah hancur,” tambahnya. (Deborah)

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top