Home / KAJIAN KEPUTUSAN / Kajian Putusan PN Lubuk Pakam (Putusan No : 1049/Pid.B/2011/PN-LP)

Kajian Putusan PN Lubuk Pakam (Putusan No : 1049/Pid.B/2011/PN-LP)

Oleh : Sahat Hutagalung S.H, M. Hum dan Manambus Pasaribu, S.H

Abstrak

Dalam konteks penegakan hukum, Hukum Acara Pidana bertujuan untuk menegakkan atau melaksanakan Hukum Pidana. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparatus penegak hukum yang salah satunya adalah Jaksa Penuntut Umum, dengan cara melakukan penuntutan terhadap tersangka atau terhadap orang yang diduga kuat menjadi pelaku. Dengan kata lain keberadaan Hukum Acara Pidana adalah untuk menjamin bahwa proses penyelesaian suatu perkara pidana mempunyai landasan kepastian hukum dan dilakukan secara adil, baik bagi Tersangka/Terdakwa maupun bagi Korban.

Perkara yang dikaji ini, Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya menyatakan Terdakwa (Aminton Sitorus alias Ribut Sitorus) didakwa melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum dewasa, yakni Novia Helina Nainggolan (umur 20 tahun) sebagaimana diatur Pasal 293 KUHP. Terhadap Dakwaan tersebut, Penasihat Hukum Terdakwa sebaliknya telah mengajukan Nota Keberatan yang salah satu butir dari keberatan-keberatannya itu pada pokoknya memohon agar Dakwaan Penuntut Umum dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan karena umur saksi korban (Novia Helina Nainggolan) adalah 20 tahun dan tidak termasuk kriteria belum dewasa sebagaimana dimaksud Pasal 293 ayat (1) KUHP.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam melalui putusannya yang dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara, kemudian telah mengabulkan Keberatan Penasihat Hukum Terdakwa tersebut dan menyatakan tidak dapat diterima dengan alasan Saksi Korban (Novia Helina Nainggolan) yang disebut berumur 20 tahun dan telah termasuk dalam kriteria dewasa menurut hukum.

Dalam ilmu hukum pidana, unsur-unsur yang terdapat dalam pasal Undang-Undang yang memuat norma perbuatan yang dapat dipidana adalah termasuk dalam materi pokok perkara yang harus dibuktikan di persidangan. Dengan kata lain, dalam kasus yang sedang dikaji ini, unsur kebelumdewasaan dalam rumusan Pasal 293 ayat (1) KUHP adalah termasuk unsur pasal yang harus dibuktikan di persidangan dan diputus dalam putusan akhir.

 Posisi Kasus

  1. Pihak Yang Berperkara :
  1. Terdakwa : Aminton Sitorus alias Ribut Sitorus, Tempat/ Tanggal Lahir Wonosari/ 1 Agustus 1981, Laki-laki, Kristen, Satpam, beralamat di Desa Wonosari Pasar VII, Kec. Tanjung Morawa, Kab. Deliserdang.
  2. Advokat : Desmon Sitorus, S.H dan Leonard BM Sitompul, S.H.
  3. Penuntut Umum : Rumondang M. S.H (Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam).
  4. Majelis Hakim : Oloan Silalahi, S.H,(Ketua), M.Y. Girsang, SH, M.H (Anggota), dan Vera Yetty M, SH, (Anggota).
  5. Saksi Korban : Novina Helina Nainggolan

Dakwaan

Bahwa Aminton Sitorus alias Ribut Sitorus pada hari Minggu tanggal 21 Agustus 2011 sekira pukul 21.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2011 bertempat di Dusun IX Desa Wonosari Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deliserdang, atau setidak-tidaknya pada tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berlebih-lebih yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang lain yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, perbuatan mana dilakukan oleh ia terdakwa dengan cara sebagai berikut:

  • Bahwa awalnya saksi korban Novia Helina Nainggolan (20 tahun) mengenal terdakwa Aminton Sitorus alias Ribut Sitorus sekitar bulan juni 2011 dimana terdakwa dikenalkan oleh saksi Erista Lusianti Br manurung dengan memberikan nomor Handphone terdakwa kepada saksi korban, kemudian antara terdakwa dan saksi korban terjadi hubungan pacaran.
  • Bahwa pada hari minggu tanggal 21 Agustus 2011 sekira pukul 21.30 saksi korban sedang berada dirumah tetangganya di dusun IX Desa Wonosari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deliserdang, kemudian terdakwa meminta saksi korban untuk datang ke tempat pembakaran batu yang jaraknya sekira 100 meter dari rumah saksi korban, setibanya dibelakang tempat pembakaran batu tersebut, saksi korban melihat terdakwa sudah menunggu, kemudian terdakwa berkata “ ada yang tau kita kesini” lalu dijawab oleh saksi korban” tidak ada” lalu terdakwa menarik tangan saksi korban kemudian menciumi saksi korban lalu membuka jaket baju dan bra saksi korban dan kembali menciumi saksi korban, kemudian oleh terdakwa membuka celana dan celana dalamnya, kemudian terdakwa menidurkan saksi korban, kemudian oleh terdakwa membuka celana dan celana dalamnya, kemudian terdakwa menidurkan saksi korban diatas tanah dibelakang pembakaran batu tersebut, kemudian oleh terdakwa memasukkan kemaluannya yang sudah menegang kedalam kemaluan terdakwa keluar dan masuk didalam kemaluan saksi korban, sehingga terdakwa merasa nikmat, tidak berapa lama kemudian terdakwa mencabut kemaluannya dari kemaluan saksi korban setelah selesai melakukan hubungan badan layaknya suami istri, terdakwa dan saksi korban kembali mengenakan pakaian masing-masing, setelah itu terdakwa dan saksi korban duduk-duduk dibelakang tempat pembakaran batu, tidak lama kemudian datang saksi Herman Marihot Nainggolan bersama dengan saksi Supriadi Sitorus dan saksi Donal Sitorus yang pada saat itu langsung menyenteri saksi korban dan terdakwa dengan mengatakan “ siapa itu” dan oleh saksi korban mengatakan “itu temanku” dan pada saat itu saksi Herman Marihot Nainggolan mengambil batu hendak melempar terdakwa akan tetapi dihalangi oleh saksi Donal Sitorus, tidak berapa lama datang orangtua saksi korban dan membawa saksi korban dan terdakwa kerumah saksi korban untuk menanyakan perbuatan terdakwa terhadap saksi korban namun saksi korban tidak mengakui telah melakukan hubungan badan layaknya suami isteri terhadap saksi korban, kemudian saksi korban dibawa ke Rumah Sakit umum Lubuk Pakam untuk melakukan visum dan visum menyatakan selaput darah saksi korban tidak utuh lagi.
  • Bahwa sebelumnya terdakwa juga telah melakukan hubungan badan layaknya suami isteri terhadap saksi korban yaitu pada hari Minggu tanggal 17 Juli 2011 sekira pukul 21.00 Wib, ketika itu saksi korban sedang duduk-duduk di depan rumah di Dusun IX Desa Wonosari, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deliserdang, pada saat itu saksi korban melihat terdakwa bersama dengan Julheri Tampubolon datang ke kedai tuak milik Rista Manurung, sekira pukul 22.00 Wib terdakwa mendatangi saksi korban yang sedang duduk di depan rumah, setelah sampai di depan rumah saksi korban, oleh terdakwa menarik tangan saksi korban dan mengajak saksi korban ke samping rumah tepatnya diantara pohon-pohon pisang, kemudian oleh Terdakwa langsung menciumi saksi korban sambil berkata” sayangnya kau dek sama abang” lalu oleh korban menjawab “sayang” lalu oleh terdakwa membujuk dan merayu saksi korban dengan berkata” kalau sayang” ayolah kita melakukan” kemudian terdakwa membuka bra saksi korban dan oleh terdakwa kemudian menciumi dada dan leher saksi korban kemudian oleh terdakwa membuka celana dan celana dalam saksi korban sebatas lutut, setelah itu oleh terdakwa menidurkan saksi korban diatas tanah dibawah pohon pisang, lalu oleh terdakwa memasukkan kemaluannya yang sudah menegang kedalam kemaluan saksi korban dan oleh terdakwa menggoyang-goyangkan pantatnya naik turun sehingga kemaluan terdakwa keluar masuk didalam kemaluan saksi korban sehingga terdakwa merasa nikmat, tidak berapa lama kemudian terdakwa mencabut kemaluannya dari kemaluan saksi korban, setelah selesai melakukan hubungan badan layaknya suami isteri terdakwa dan saksi korban kembali mengenakan pakaian masing-masing, kemudian oleh terdakwa kembali ke kedai tuak dan saksi korban kembali duduk di depan rumahnya.
  • Bahwa akibat perbuatan Aminton Sitorus alias Ribut Sitorus maka pada bagian genetali saksi korban Novia Helinan Nainngolan tampak robek lama Hymen pada jam 1,6,11 yang disebabkan oleh ruda paksa tumpul, sesuai dengan Visum Et Repertum Rumah sakit Umum Daerah Deli Serdang nomor 1633/VIII/RSU/2011 tanggal 27 agustus 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh Ruslan Pandia, Sp.OG dengan mengingat sumpah jabatan.
  • ———- Sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut pasal 293 ayat (1) KUHP;

Eksepsi Advokat :

Atas dakwaan ini Tim Penasihat Hukum Terdakwa telah mengajukan Nota Keberatannya secara tertulis tanggal 21 Desember 2011 yang pada pokoknya menyangkut kaburnya Surat dakwaan Penuntut Umum dengan alasan:

  1. Penuntut Umum telah salah dalam menerapkan Undang-undang
  2. Penuntut Umum telah salah dalah menerapkan pasal yang didakwakan
  3. Tanggapan Jaksa Penuntut Umum

Atas eksepsi yang diajukan Penasihat Hukum terdakwa Penuntut Umum telah mengemukakan pula pendapatnya secara tertulis tanggal 22 Desember 2011 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum jelas tidak keliru dalam menerapkan ketentuan pasal 293 ayat 91) KUHP terhadap perbuatan terdakwa dan juga tidak bertentangan dengan pasal 156 ayat (1) KUHAP dan pasal 144 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Dan selanjutnya menyatakan Nota keberatan Tim Penasihat Hukum terdakwa untuk selebihnya tidak masuk dalam ruang lingkup pasal 156 (1) KUHAP melainkan telah masuk atau menyinggung pokok perkara (pembuktian materil )

  1. Putusan Eksepsi :
  2. Pertimbangan Hukum Eksepsi :

Menimbang, bahwa inti dakwaan Penuntut Umum adalah bahwa terdakwa didakwa melakukan perbuatan cabul terhadap saksi korban Novia Helina pada hari minggu tanggal 21 Agustus 2011 sekira pukul 21.30 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan agustus 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2011 bertempat di Dusun IX Desa Wonosari, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deliserdang, sedangkan umur saksi korban diuraikan dalam surat dakwaan adalah berumur 20 tahun (lahir pada tanggal 27 April 1991) sesuai dengan identitas korban dalam Berita Acara Pemeriksaan pendahuluan yang diperbuat dihadapan penyidik tertanggal 7 September 2011 sebagaimana tersebut dalam berkas perkara.

Menimbang, bahwa memperhatikan uraian alasan dan pokok tuntutan keberatan Tim penasihat Hukum Terdakwa, dimana Surat Dakwaan Penuntut Umum harus dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima dengan alasan umur saksi korban dalam uraian surat dakwaan adalah 20 (dua puluh) tahun, sedangkan menurut Penasihat Hukum Terdakwa bahwa umur 20 (dua puluh) tahun tersebut adalah telah dewasa dan tidak tergolong kriteria belum dewasa sebagaimana dimaksud pasal 293 KUHP;

Menimbang bahwa selajutnya inti pendapat penuntut Umum terhadap pokok keberatan Tim Penasihat Hukum Terdakwa diatas adalah bahwa umur saksi korban 20 (dua puluh) tahun adalah belum dewasa dengan alasan yang dimaksud dengan pengertian belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebagaimana diatur dalam BAB XV tentang kebelum dewasaan dan Perwalian bagian I Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 330 ( S.1901-194 Jo S 1905-552) dan juga dalam ketentuan S 1819-60,1839-22 pada tangggal 01 Desember 1905 batas usia belum dewasa di ubah dari 23 tahun menjadi 21 tahun kemudian disebutkan dalam buku KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal R Soesilo edisi cetak ulang, tahun 1991 Politea Bogor bahwa pengertian belum dewasa adalah berumur 21 tahun dan belum pernah kawin;

Menimbang, bahwa setelah mempelajari materi muatan surat dakwaan yang didasarkan pada Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan yang dibuat oleh Penyidik yang memuat identitas tentang umur saksi yang menjadi korban, kemudian dikaitkan dengan nota keberatan Tim Penasihat Hukum terdakwa dan pendapat Penuntut Umum, maka majelis hakim memperoleh kesimpulan bahwa yang menjadi pokok permasalahan antar Penuntut Umum dengan Tim Penasihat Hukum Terdakwa adalah tentang pengertian dan batas umur belum dewasa yang terdapat dalam rumusan pasal 293 ayat (1) KUHP;

Menimbang, bahwa sebelum memasuki materi dakwaan, maka akan terlebih dahulu dipertimbangkan mengenai Nota keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa tersebut oleh karena apabila saksi korban dalam perkara ini berumur 20 (dua puluh) tahun telah dewasa atau belum dewasa menurut hukum, maka akan sangat menentukan bagi suatu putusan atas Surat dakwaan maupun atas Nota keberatan Tim Penasihat Hukum Terdakwa tersebut.

Menimbang secara Redaksional ketentuan pasal 293 ayat (1) KUHP merumuskan: “ barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja membujuk seseorang yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal dia tahu atau selayaknya harus diduganya bahwa orang lain itu belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

Menimbang, bahwa dengan demikian ratio ketentuan pasal 293 ayat (1) KUHP secara limitatif mengatur perbuatan terlarang tersebut ditujukan (obyek/korban) adalah seorang yang belum dewasa, sehingga dan pasal ini tidak berlaku bagi terdakwa yang menjadikan korbannya seorang yang telah dewasa.;

Menimbang, bahwa menegenai pengertian atau rumusan dan batas umur belum dewasa adalah menjadi salah satu unsur yang harus terbukti dan terpenuhi dalam uraian singkat dakwaan yang mendakwa terdakwa dengan pasal 293 ayat(1) sebelum memasuki pembuktian mengenai perbuatan yang didakwakan, oleh karena perbuatan yang didakwakan tersebut ditujukan atau dilakukan oleh terdakwa terhadap seorang yang menjadi korban yaitu seorang perempuan yang belum dewasa menurut hukum, maka uraian identitas tentang unsur saksi korban menjadi hal yang sangat penting telah memenuhi atau adalah termasuk orang yang belum dewasa dengan konsekuensi apabila seseorang yang telah menjadi korban tersebut adalah orang yang telah dewasa maka akan membawa akibat surat dakwaan telah tidak memenuhi dasar hukum dan sasaran dakwaan.

Menimbang bahwa berdasarkan Surat Dakwaan Penuntut Umum dan dikaitkan dengan berkas pemeriksaan pendahuluan dalam perkara ini, khususnya Berita Acara Pemeriksaan Saksi atas nama Novia Helena Nainggolan bahwa saksi yang menjadi korban adalah bernama Novia Nainggolan lahir di Brandan tanggal 27 April 1991, sedangkan tempus delicti diuraikan terjadi pada hari minggu tanggal 21 Adustus 2011 sehingga pada saat terjadinya perbuatan yang didakwakan tersebut, saksi yang menjadi korban telah berumur 20 (dua puluh) tahun dan 3 (tiga) bulan lebih;.

Menimbang, bahwa didalam KUHP hanya mengatur secara jelas mengenai batas umur dewasa bagi pelaku dari suatu perbuatan pidana, sedangkan bagi saksi yang menjadi korban dalam berbagai pasal tidak diatur secara tegas dan jelas dan bahkan dalam berbagai undang-undang terdapat perbedaan mengenai batasan umur dewasa tersebut yaitu:

  1. Pasal 330 BW dimana disebutkan: “… yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah perwalian.
  2. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dimana disebutkan: “ Penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah”(eks pasal 39 ayat 1 huruf a);
  3. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dimana disebutkan:
  • Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun (eks pasal 7 ayat1)
  • Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya (eks pasal 47 ayat 1)
  • Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali” (eks pasal 50 ayat1)
  1. Perundang-undangan lain:
  • Undang-undang N0.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia eks pasal 1 angka 5 yang merupakan batas usia dewasa dengan 18 tahun.
  • Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak eks pasal 1 ayat (1) yang memberikan batas usia anak 18 tahun ( dalam beberapa doktrin ilmu hokum pdana ditafsirkan secara logika terbalik sebagai usia dewasa)
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang eks pasal 1 ayat (5) yang memberikan batas usia anak 18 tahun ( dalam beberapa Doktrin Ilmu Hukum Pidana ditafsirkan secara logika terbalik sebagai usia dewasa)

 

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas terdapat penggunaan istilah yang berbeda terhadap istilah dewasa atau bukan anak, dimana batasan umur tertentu telah dipakai dalam menentukan kriteria aquo sehingga penafsiran atau penerapannya harus terlebih dahulu dapat dilihat dari undang-undang yang bersangkutan dan jika tidak diatur harus pula dapat merujuk pada pengertian berdasarkan hukum (rechtmatigheid), baik dari aspek hukum pidana maupun hukum perdata;

Menimbang bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, dimana sifat hukum publik aqua akan terlihat ketika suatu tindak pidana akan hilang dan tetap ada meskipun perbuatan tersebut terjadi dengan seizin atau dengan persetujuan orang terhadap siapa perbuatan tersebut telah ditujukan. Proses Penuntutan dalam hal ini terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian akibat perbuatan tersebut;

Menimbang bahwa selanjutnya berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia (Wetboek van Strafrecht-Stbl.1915 No. 732) sebagai bentuk hukum yang terkodifikasi adalah berdasarkan azas konkordansi eks pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar Republik 1945 yang menyebutkan” Segala Badan Negara dan peraturan yang ada yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”. Selanjutnya dengan UU No.73 Tahun 1958 Jo UU No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sehingga terdapat keseragaman berlakunya Hukum pidana di seluruh Indonesia.

Menimbang bahwa terkait istilah dewasa dan batasan umur kapan seseorang disebut dewasa, kemudian dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia telah pula mengalami beberapa bentuk pengaturan dalam beberapa golongan masyarakat tertentu sejak diberlakukan hukum pidana tersebut. Hal demikian sesuai dengan tujuan yang melekat dari hukum itu sendiri. Aspek budaya hukum telah mengalami pergeseran dalam memandang kriteria dewasa (jika dikaitkan dengan parameter umur tertentu) karena memang jika diperbandingkan kemampuan si belum dewasa pada awal masa berlakunya Wet Boek Van Strafrecht) tentu tidak sama dengan keadaan pada masa sekarang;

Menimbang, bahwa terlepas pada pandangan tersebut diatas, guna memenuhi maksud rumusan ketentuan pasal 293 ayat (1) LUHP maka majelis menyatakan tidak sependapat dengaan Penuntut Umum jika batas usia dalam kriteria”belum dewasa” a qua telah ditafsirkan dengan belum dewasa 21 tahun (eks pasal 330 BW), yaitu dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

  • Bahwa unsur batasan umur dewasa dalam pasal 330 BW adalah 21 (dua puluh satu) tahun, namun pasal 330 BW pada pokoknya menentukan patokan tentang kedewasaan adalah bahwa dewasa adalah tidak berada di bawah kekuasaan orangtua dan tidak dibawah perwalian, sedangkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 47 dan 50 menyebutkan anak yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun tidak lagi dibawah kekuasaan orangtua dan tidak dibawah perwalian. Hal ini berarti bahwa usia dewasa menurut Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 adalah 18 (delapan belas) tahun (vide hasil Kesepakatan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 20 September 2011)

 

  1. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan

Terwujudnya kepastian hukum dan keadilan dalam suatu proses peradilan pidana adalah dambaan setiap pencari keadilan, baik tersangka/terdakwa maupun pihak yang menjadi korban. Oleh karena itu, maka setiap tersangka/terdakwa yang disangka/didakwa melakukan suatu perbuatan yang menurut Undang-Undang Hukum Pidana (Hukum Pidana Materil) diancam dengan pidana, hanya dapat dijatuhi hukuman atau diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum apabila untuk itu ia telah diperiksa dan diadili sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil) yang berlaku.

Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil) bertujuan untuk menegakkan atau melaksanakan Hukum Pidana (Hukum Pidana Materil). Apabila terjadi suatu perbuatan yang menurut ketentuan Undang-Undang diancam dengan pidana dan negara akan melakukan penuntutan terhadap tersangka pelaku, maka persoalan yang muncul terkait dengan itu adalah bagaimana cara pelaksanaan hak menuntut oleh negara tersebut dilakukan? Bagaimana proses pemeriksaan di Kepolisian harus dilakukan? Bagaimana proses di Kejaksaan? Dan bagaimana pelaksanaan proses pemeriksaan terdakwa harus dilakukan oleh Hakim untuk kemudian memberikan putusan atas perkara terdakwa?

Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut mendapat pengaturan dalam Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil). Keberadaan Hukum Acara Pidana adalah untuk menjamin bahwa proses penyelesaian suatu perkara pidana mempunyai landasan kepastian hukum dan dilakukan secara adil, baik bagi Tersangka/Terdakwa maupun bagi Korban.

Dari kasus yang dikaji, dapat diketahui bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya menyatakan Terdakwa (Aminton Sitorus alias Ribut Sitorus) didakwa melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum dewasa, yakni Novia Helina Nainggolan (umur 20 tahun) sebagaimana diatur Pasal 293 KUHP. Terhadap Dakwaan tersebut, Penasihat Hukum Terdakwa sebaliknya telah mengajukan Nota Keberatan yang salah satu butir dari keberatan-keberatannya itu pada pokoknya memohon agar Dakwaan Penuntut Umum dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan karena umur saksi korban (Novia Helina Nainggolan) adalah 20 tahun dan tidak termasuk kriteria belum dewasa sebagaimana dimaksud Pasal 293 ayat (1) KUHP.

Atas keberatan Penasihat Hukum Terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam melalui putusannya yang dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara, kemudian telah mengabulkan Keberatan Penasihat Hukum Terdakwa tersebut dan menyatakan tidak dapat diterima Surat Dakwaan Penuntut Umum karena Pasal 293 ayat (1) yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum tidak berlaku terhadap perbuatan Terdakwa yang ditujukan kepada Saksi Korban (Novia Helina Nainggolan) yang disebut berumur 20 tahun dan telah termasuk dalam kriteria dewasa menurut hukum.

Pertanyaan yang menjadi permasalahan pokok untuk dianalisis dalam perkara ini adalah apakah telah tepat putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menyatakan mengabulkan Keberatan Penasihat Hukum Terdakwa dalam perkara a quo?

Untuk mengkaji permasalahan tersebut, terlebih dahulu akan periksa bagaimanakah Hukum Acara Pidana mengatur perihal Dakwaan dan pengajuan Keberatan terhadap Dakwaan dalam proses peradilan perkara pidana.

KUHAP tidak memberikan definisi mengenai Surat Dakwaan. Dalam hal ini pembentuk Undang-Undang agaknya menyerahkan kepada doktrin ataupun praktik peradilan dan yurisprudensi. Namun sekedar sebagai pedoman, dapat kiranya dikemukakan definisi Surat Dakwaan yang bersumber dari doktrin, yaitu pendapat Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Keenam, 2004, hal. 386-387 yang mengatakan :

“Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan”.

Selanjutnya dari ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa Surat Dakwaan dibuat oleh Penuntut Umum berdasarkan hasil penyidikan yang telah dilakukan Penyidik. Oleh karena itu isi Surat Dakwaan harus sejalan dengan hasil pemeriksaan selama penyidikan sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Mengenai teknis pembuatan Surat Dakwaan, Pasal 143 ayat (2) KUHAP menyatakan Surat Dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penuntut Umum serta berisi selain nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka, juga memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Dalam ilmu hukum acara pidana, teknis pembuatan Surat Dakwaan ini menjadi syarat yuridis suatu Surat Dakwaan, yang dibagi menjadi syarat formal dan syarat material. Pemberian tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum serta pencantuman nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka merupakan syarat formal Surat Dakwaan. Sedangkan mengenai isi Surat Dakwaan yang memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan merupakan syarat material Surat Dakwaan.

Apabila Surat Dakwaan tidak memenuhi syarat formal, maka Surat Dakwaan tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila Surat Dakwaan tidak memenuhi syarat material, maka sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, Surat Dakwaan menjadi batal demi hukum.

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP, atas dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum, diberi hak kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya untuk mengajukan Keberatan mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.

Atas Keberatan yang diajukan oleh Penasihat Hukum, maka Hakim terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Penuntut Umum untuk menyatakan pendapatnya sebelum Hakim mempertimbangkan Keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.

Apabila Hakim menyatakan Keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau Hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

Berdasarkan KUHAP, Keberatan adalah hak Terdakwa atau Penasihat Hukumnya, namun KUHAP tidak memberikan batasan atau pengertian Keberatan. Untuk itu, dapatlah kita mengetahuinya dari doktrin, antara lain yang dikutip dari pendapat Lilik Mulyadi, dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke-1, 1996, hal. 83 menyatakan :

“Istilah “keberatan” merupakan istilah teknik-yuridis dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebelum itu praktek mengenal dengan istilah “tangkisan” atau “eksepsi” berasal dari istilah kata bahasa Belanda “Exceptie” atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Exception”, di mana istilah bahasa Belanda dan Inggris tersebut merupakan serapan (absorptie) dari istilah bahasa Latin, “Exceptio, Exceptie”.

Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Keenam, 2004, hal. 123 menyatakan :

“Eksepsi adalah tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap “materi pokok” surat dakwaan, tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat “formal” yang melekat pada surat dakwaan”.

Rd. Achmad S Soema Di Pradja, sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, dalam bukunya Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke-1, 1996, hal. 84, menyatakan :

“tangkisan adalah alat pembelaan dengan tujuan yang utama untuk menghindarkan diadakan putusan tentang pokok perkara, karena apabila tangkisan ini diterima oleh pengadilan, pokok perkara tidak perlu diperiksa dan diputus”.

Berdasarkan beberapa definisi yang diberikan oleh doktrin, dapat diketahui bahwa tujuan pengajuan Keberatan dalam suatu proses persidangan pidana adalah untuk memberi tangkisan terhadap dakwaan Penuntut Umum yang isinya tidak mengenai materi pokok perkaranya sehingga Hakim tidak perlu memeriksa materi pokok perkara.

Pada putusan yang dikaji, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam telah mengabulkan Keberatan Penasihat Hukum Terdakwa dengan menyatakan tidak dapat diterima Dakwaan Penuntut Umum sehingga perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Apakah yang dimaksud dengan putusan yang berbunyi “dakwaan tidak dapat diterima”?

Mengenai pengertian “dakwaan tidak dapat diterima”, KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang itu dan dalam hal apa saja suatu dakwaan tidak dapat diterima. Agaknya hal inipun tidak diatur dalam Undang-Undang sehingga untuk itu kita harus berpaling pada doktrin dan praktik peradilan serta yurisprudensi.

Andi Hamzah, dalam bukunya “Hukum Acara Pidana Indonesia”, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, hal. 247, menyatakan yang dimaksud dakwaan tidak dapat diterima ialah dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau yang biasa disebut niet ontvankelijk verklaring van het Openbaar Ministerie. Undang-Undang tidak menjelaskan kapan suatu dakwaan atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima. Begitu pula dalam Ned. Sv., tidak diatur hal demikian.

Menurut van Bemmelen, seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah, dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima terjadi jika tidak ada hak untuk menuntut, misalnya dalam delik aduan tidak ada pengaduan atau delik itu dilakukan pada waktu dan tempat yang undang-undang pidana tidak berlaku atau hak menuntut telah hapus. Termasuk pula tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima jika telah ada putusan yang tidak dapat diubah mengenai perkara tersebut. Maksudnya non bis in idem.

Sama halnya dengan pendapat van Bemmelen, pendapat M.H. Tirtaamidjaja dan S.M. Amin, seperti yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, dalam bukunya Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke-1, 1996, hal. 99, menyatakan bahwa putusan terhadap dikabulkannya keberatan (eksepsi) tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima disebabkan faktor-faktor : 1. Karena dituntutnya seseorang padahal tidak ada pengaduan dari si korban dalam Tindak Pidana Aduan (Klachtdelicten), 2. Adanya daluwarsa hak menuntut sebagaimana ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 3. Adanya unsur Ne Bis In Idem sebagaimana ketentuan Pasal 76 KUHP, dan 4. Adanya Exceptio litis pendentis (keberatan terhadap apa yang didakwakan kepada terdakwa sedang diperiksa oleh pengadilan lain).

Kembali kepada kasus yang dikaji, dengan mengacu pada berbagai ketentuan Undang-Undang dan doktrin mengenai Dakwaan dan Keberatan sebagaimana telah dipaparkan, menjadi pertanyaan, apakah materi persoalan yang dijadikan Keberatan (Eksepsi) Penasihat Hukum Terdakwa dalam kasus ini merupakan materi Keberatan (Eksepsi) sebagaimana yang telah diatur Pasal 156 ayat (1) KUHAP? Dan apakah keputusan Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam mengabulkan Keberatan (Eksepsi) tersebut dengan menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima telah tepat secara yuridis?

Telah diketahui bahwa salah satu butir Keberatan (Eksepsi) yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa yang kemudian mendapat pengabulan dari Majelis Hakim dengan menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima, pada pokoknya adalah terkait dengan persoalan kriteria “belum dewasa” sebagaimana dimaksud Pasal 293 ayat (1) KUHP.

Bahwa ternyata persoalan kriteria “belum dewasa” merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam rumusan Pasal 293 ayat (1) KUHP yang secara lengkapnya berbunyi :

“Barang siapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakukannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”.

Dalam ilmu hukum pidana, unsur-unsur yang terdapat dalam pasal Undang-Undang yang memuat norma perbuatan yang dapat dipidana adalah termasuk dalam materi pokok perkara yang harus dibuktikan di persidangan. Dengan kata lain, dalam kasus yang sedang dikaji ini, unsur kebelumdewasaan dalam rumusan Pasal 293 ayat (1) KUHP adalah termasuk unsur pasal yang harus dibuktikan di persidangan.

Berkaitan dengan unsur “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan Dan Norma-Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 181-182, disebutkan bahwa unsur obyektif “seorang yang belum dewasa yang tidak cacat kelakuannya” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP ternyata diliputi oleh unsur subyektif dari pasal tersebut, yaitu “yang diketahuinya atau sepantasnya harus diduga”. Dengan demikian untuk menyatakan pelaku terbukti telah memenuhi unsur “mengetahui” dan “menduga”, harus dapat dibuktikan di persidangan tentang adanya “pengetahuan” atau setidak-tidaknya tentang adanya “dugaan” pada orang tersebut, bahwa orang yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan ataupun yang membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya itu merupakan orang yang belum dewasa. Jika “pengetahuan” ataupun “dugaan” orang tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas baginya.

Selain itu, apabila persoalan “kebelumdewasaan” yang merupakan unsur Pasal 293 ayat (1) KUHP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, maka jelas terlihat bahwa persoalan “kebelumdewasaan” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP tersebut tidak termasuk dalam kategori materi Keberatan (Eksepsi) sebagaimana diatur oleh Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Persoalan kebelumdewasaan merupakan salah satu unsur Pasal 293 ayat (1) KUHP yang harus dibuktikan dan masuk dalam materi pokok perkara yang harus diputus dalam putusan akhir, bukan putusan sela. Sementara itu Keberatan (Eksepsi), sesuai dengan tujuannya, seyogyanya hanya ditujukan sebagai tangkisan atau pembelaan yang tidak terkait dengan materi pokok perkara, atau dengan kata lain hanya ditujukan terhadap cacat formal yang melekat pada Surat Dakwaan yang diputus dengan putusan sela.

Mengajukan persoalan “kebelumdewasaan” yang merupakan unsur Pasal 293 ayat (1) KUHP sebagai alasan Keberatan (Eksepsi), berdasarkan analisis yang dilakukan menurut hemat Pengkaji, merupakan kesalahan dalam penerapan Hukum Acara Pidana. Demikian juga dengan pengabulan Keberatan (Eksepsi) tersebut dengan menyatakan dakwaan tidak dapat diterima.

Penutup Dan Kesimpulan

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa mengajukan persoalan “kebelumdewasaan” yang merupakan unsur Pasal 293 ayat (1) KUHP sebagai alasan Keberatan (Eksepsi) bertentangan Hukum Acara Pidana, yakni ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP.

Kesalahan dalam penerapan Hukum Acara Pidana a quo berdampak pada tidak tercapainya kepastian hukum dan keadilan, baik bagi Terdakwa maupun bagi Korban.

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top