Home / KAJIAN KEPUTUSAN / Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kisaran

Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kisaran

Dalam Perkara Pidana Reg. No. : 812/Pid/2008/PN-Kis

Oleh : Manambus Pasaribu, SH dan Sahat M  Hutagalung, SH, M.H

  1. Pendahuluan

Dalam ilmu hukum, putusan hakim diakui sebagai salah satu sumber hukum. Dengan demikian selain pembentuk undang-undang (legislatif), Hakim juga dianggap sebagai pembentuk hukum. Melalui pelaksanaan tugasnya sehari-hari dalam mengadili perkara, Hakim membentuk hukum secara kongkrit dengan mendasarkan pada keadilan.

Demikian strategis peran Hakim dan Pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan. S.F. Marbun, seorang akademisi dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, pernah mengatakan bahwa jika negara hukum diibaratkan sebatang pohon, maka pengadilan adalah akarnya. Akar adalah penopang bagi tegak dan tumbuh suburnya pohon negara hukum tersebut. Jika pengadilan sebagai akar rapuh, maka tumbanglah pohon negara hukum itu.

Agar pohon negara hukum dapat tegak dan tumbuh subur, diperlukan akar yang kuat, yaitu pengadilan yang kuat yang menghasilkan putusan-putusan yang benar dan adil. Supaya putusannya benar dan adil maka proses pembuatannya harus dilakukan secara baik dan benar dengan didasarkan pada intelektualitas dan integritas Hakim.

Bagaimanapun pengadilan yang bersih, berwibawa dan adil adalah harapan semua orang. Untuk itu, maka partisipasi publik berperan strategis dalam mendorong terwujudnya harapan itu, salah satunya melalui kegiatan pengkajian putusan-putusan pengadilan.

Pengkajian putusan pengadilan yang berupa pengujian atau eksaminasi terhadap dasar pertimbangan hukum putusan hakim atas suatu perkara dimaksudkan untuk menguji apakah penerapan hukum oleh hakim telah dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, selain itu apakah proses pemeriksaan perkara telah dilakukan secara cermat dan teliti serta sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Dalam perkara yang menjadi obyek kajian ini, yaitu berkaitan dengan penerapan ketentuan tindak pidana perkebunan sebagaimana diatur dalam Pasal 47 jo. 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, akan coba dianalisis pertimbangan hukum Putusan yang dibuat oleh  Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran. Analisis akan berfokus pada persoalan apakah dalam mengambil putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran telah cukup mempertimbangkan seluruh fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kemudian apakah penerapan hukum terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan telah dilakukan oleh Majelis Hakim dengan tepat dan benar?

Dengan adanya hasil kajian putusan pengadilan, diharapkan selain memberikan manfaat sebagai bahan pembelajaran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, juga dapat menjadi rekomendasi bagi perbaikan kinerja aparat penegak hukum demi terwujudnya pengadilan yang bersih, berwibawa dan adil.

 

  1. UU Perkebunan : Dari Kriminalisasi Petani Menuju Uji Materi Ke Mahkamah Konstitusi

Salah satu konflik sosial yang marak terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 adalah konflik sosial yang bersumber dari konflik agraria (tanah). Tersedianya landasan hukum di bidang pertanahan dengan lahirnya Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960 ternyata tidak cukup memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi rakyat atas kepemilikan tanah. Kebijakan politik ekonomi Orde Baru pasca kelahiran UUPA kiranya cukup berpengaruh bagi kebijakan politik pertanahan sesudah itu. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai undang-undang sektoral yang meskipun mengatur persoalan yang berbeda, namun secara substansi masih berkaitan dengan persoalan tanah dan hak penguasaan atas tanah, seperti UU Penanaman Modal, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan lain-lain.

Kebijakan negara yang cenderung pro modal (kapital) yang kemudian dilegalisasi dengan pembuatan perangkat perundang-undangan yang menjadi pendukungnya, pada akhirnya menimbulkan ketimpangan pada struktur penguasaan sumber daya alam, dalam hal ini tanah di Indonesia. Terdapat sekelompok kecil orang atau perusahaan yang menguasai tanah sedemikian luasnya, sementara banyak rakyat petani yang tidak mempunyai tanah.

Sehubungan dengan itu, persoalan setidaknya mengarah kepada dua hal. Pertama, di tataran konsep, berbagai undang-undang sektoral yang cenderung pro modal (kapital) tersebut secara substansi maupun filosofi ternyata bertentangan dengan UUPA yang populis dan pro ekonomi lemah terutama kaum tani. Sementara, yang kedua, dalam tataran praktik di lapangan, terjadinya konflik tanah antara rakyat petani dengan perusahaan-perusahaan pertambangan atau perkebunan misalnya, menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) diketahui bahwa salah satu sektor penyumbang terjadinya konflik tanah/agraria terbesar adalah sektor perkebunan. Dari data yang dapat direkam oleh Resource Center Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam kurun waktu selama 30 tahun, yaitu sejak tahun 1970 – 2001 terdapat sebanyak 1.753 kasus konflik tanah yang terjadi di Indonesia.[1] Dari jumlah tersebut konflik yang paling tinggi intensitasnya adalah konflik yang terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan besar, yaitu sebanyak 344 kasus.[2]

Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak atas tanah bagi perusahaan-perusahaan perkebunan ternyata seringkali menuai konflik di masyarakat. Hal ini disebabkan proses pemberiannya yang acap kali dilakukan dengan mengingkari hak-hak penguasan tanah oleh masyarakat lokal yang telah dilakukan sejak lama secara turun temurun. Sebagai contoh, HGU perkebunan-perkebunan BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara yang pada awalnya merupakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang berasal dari konversi hak barat atas tanah (erfpacht). Pergantian wajah dari hak erfpacht menjadi HGU, sering kali menjadikan tanah-tanah perkebunan hasil nasionalisasi tersebut secara otomatis dianggap sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Tanpa mempedulikan riwayat asal usul tanah, yaitu apakah tanah tersebut sebelum diambil alih oleh perusahaan-perusahaan Belanda dahulu merupakan tanah-tanah yang di atasnya melekat hak masyarakat lokal atau tidak, negara dengan mendasarkan pada Hak Menguasai Negara yang diatur dalam UUPA, justru menyalahgunakan wewenangnya itu dengan menerbitkan HGU bagi perusahaan perkebunan. Akibatnya penguasaan masyarakat lokal atas tanah yang tidak didukung oleh dokumen legal berupa Sertifikat Hak Milik atau Hak Guna Usaha dianggap ilegal.

Konflik agraria antara masyarakat lokal pemilik tanah dengan pihak perusahaan perkebunan terjadi berulang-ulang secara meluas di berbagai daerah.  Dengan lahirnya UU Perkebunan pada tahun 2004, yaitu UU No. 18 tahun 2004, kondisi ini ternyata tidak berubah, bahkan cenderung mengalami peningkatan.

Dimuatnya pasal-pasal kriminal dalam UU No. 18 Tahun 2004, justru semakin memudahkan bagi perusahaan-perusahaan perkebunan dan negara untuk mengkriminalisasi petani-petani yang akan mempertahankan haknya atas tanah.

Sebagai salah satu undang-undang sektoral yang masih terkait dengan UUPA, ternyata UU Perkebunan juga banyak menuai kritik. Meskipun dalam konsiderannya UU Perkebunan didasari oleh niat bahwa pembangunan perkebunan adalah dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan, namun secara orientasi filosofis ternyata berbeda dengan UUPA yang berfokus pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama kaum tani. Selain secara substansial dianggap membuka ruang yang luas bagi eksploitasi secara besar-besaran perusahaan perkebunan terhadap lahan-lahan milik rakyat, terutama petani, ketentuan pidana dalam UU Perkebunan memberi peluang bagi terjadinya kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.

Lembaga Sawit Watch mencatat telah terjadi konflik di perkebunan kelapa sawit antara perusahaan dengan komunitas masyarakat pada tahun 2007 sebanyak 514 kasus, tahun 2008 terdapat 576 kasus, tahun 2009 ada 604 kasus, dan pada tahun 2010 terdapat 663 kasus. Bahkan sepanjang tahun 2010 sebanyak 106 orang warga dikriminalisasi diperkebunan kelapa sawit ketika masyarakat memperjuangkan hak mereka. Sebanyak 2.357 kasus kriminalisasi petani sawit sepanjang tahun 2007 – 2010 disebabkan oleh implementasi represif dari Pasal 21 dan Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan3.

Tingginya intensitas konflik dan efektifnya sengatan Pasal 47 dan 21 UU Perkebunan sebagai alat kriminalisasi petani telah mendorong sejumlah Advokat yang tergabung dalam Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal-pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Dalam pengajuan permohonan uji materi tersebut, PIL-Net bertindak sebagai kuasa dari 4 (empat) orang petani korban perampasan hak atas tanah dan korban tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yakni : Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, dan Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 47 dan 21 UU Perkebunan, yang menjadi alasan pengajuan permohonan pengujian pada pokoknya adalah berkaitan dengan frasa yang terdapat dalam rumusan pasal-pasal tersebut, khususnya yang berbunyi “melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”. Frasa ini dianggap telah dirumuskan secara samar-samar, tidak jelas dan tidak rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana, serta pengertiannya terlalu luas dan rumit. Berdasarkan rumusan tersebut, setiap upaya dan usaha yang dilakukan “setiap orang” dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak atas tanahnya dapat dengan mudah dikualifikasikan sebagai perbuatan “melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”. Hal ini menjadikan pasal tersebut dapat ditafsirkan secara terbuka dan luas oleh penguasa dan perusahaan perkebunan serta berpotensi untuk disalahgunakan secara sewenang-wenang.

Rumusan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan, dianggap telah melanggar prinsip kepastian hukum sebagai salah satu ciri negara hukum karena bertentangan dengan asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi. Oleh karena itu disimpulkan bahwa rumusan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1)  dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.[3]

III. Perkara Pidana Reg. No. : 812/Pid/2008/PN-Kis atas nama Tukijo, Dkk

  1. Posisi Perkara

Posisi perkara ini diperoleh dari hasil keterangan Terdakwa yang disampaikan dalam proses persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa dan dari uraian Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

  1. Menurut Terdakwa I Tukijo  dia menguasai lahan seluas ± 4.036 M2 yang terletak di Dusun II Desa Sei Silau Barat, Kec. Buntu Pane, Kab Asahan sejak tahun 1996 dengan menanami pohon kelapa sawit, coklat, jati putih, durian dan pisang. Dan sebelumnya tanah itu dikelola orang tuanya yang bernama Parino sejak tahun 1959 dengan cara membuka hutan.

Bahwa Atas lahan seluas 4.036 tersebut Terdakwa Tukijo mempunyai surat bukti lahan yang dikuasainya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) No.593/042/SKT/SSB/IV/2007 yang dikeluarkan Kepala Desa Sei Silau Barat yang bernama Edi Erwanto tanggal 5 April 2007 yang diketahui dan ditandatangani oleh Camat Buntu Pane a.n Drs. Rahmi Hasbi. Menurut Terdakwa I Tukijo lahan yang dikuasai dan diusahai Terdakwa tidak termasuk dalam HGU PTPN III Sei Silau sebab sejak lahan itu ada pihak PTPN tidak pernah menguasainya.

  1. Menurut Terdakwa II Iskandar dia ada menguasai lahan seluas ± 26.775  M2 yang terletak di dusun I Desa Sei Silau Barat, Kec. Buntu Pane, Kab. Asahan sejak tahun 1999 dengan cara menanami kelapa sawit, coklat dan pisang. Lahan itu sebelumnya dikuasai dan diusahai orangtua Terdakwa yang bernama Poniman sejak tahun 1955.

Terdakwa II Iskandar dalam penguasaan lahan tersebut memiliki surat bukti atas lahan yang dikuasai dan diusahainya berupa Surat Keterangan (SK) Tanah No. 593/025/SKT/2002 yang diterbitkan oleh Kepalala Desa Silau Barat pada tanggal 24 Desember 2002

Menurut Terdakwa II Iskandar lahan yang dikuasai dan diusahainya sudah sejak tahun 1955 dikuasai dan dan diusahai orangtuanya, jauh sebelum HGU PTPN III terbit.

  1. Menurut Terdakwa III Sutarmin dia ada menguasai dan mengusahai lahan seluas ± 16.115,5 M2 dan ± 20.110 M2 yang terletak di Dusun II Desa Silau Barat, Kec. Buntu Pane, Kab. Asahan yang dikuasai dan diusahai sejak tahun 1996 dengan cara menanami tanaman sawit, pohon Mahoni dan Coklat. Sebelumnya lahan itu merupakan peninggalan orangtua Sutarmin yang bernama Jumingin yang dikuasai dan diusahai sejak tahun 1959.

Alas hak penguasaan terakwa Sutarmin adalah Surat Keterangan Tanah seluas 16.115 M2 No.593/040/SKT/SSB/IV/2007 yang diterbitkan oleh Kepala Desa Sei Sialu Barat tanggal 3 mei 2007 dan Surat Keterangan (SK) Tanah seluas 20.110 M2 N0. 593/112/SKT/SSB/IV/2007 yang diterbitkan Kepala Desa Sei Silau Barat tanggal 5 April 2007 dan surat keterangan tanah (SK) seluas 19.719 M2 N0. 593/050/SKT/SSB/IV/2007 yang diterbitkan Kepala Desa Sei Silau Barat tanggal 5 April 2007.

  1. Menurut Terdakwa Tugimin dia ada menguasai dan mengusahai lahan seluas ± 30 Rante atau seluas ± 12.040 M2 dan tanah seluas ± 6.266 yang terletak di Dusun III Desa Silau Barat, Kec. Buntu Pane, Kab. Asahan sejak 1993 dengan menanaminya dengan pohon Kemiri, Kopi dan sebagian sawah dimana lahan itu sendiri merupakan peninggalan kakeknya.

Dalam menguasai dan mengusahai lahannya Terdakwa Tugimin memiliki Surat keterangan tanah (SK) tanah No. 593/012/SKT/SBB/V/1999 tanggal 23 Mei 1999 untuk lahan seluas ± 12.040 M2 yang diterbitkan Kepala Desa Sei Silau barat yang bernama Parioto dan Surat Keterangan Tanah (SKT) No. 593/032/SKT/SBB/V/2007 tanggal 8 Mei 2007 untuk lahan seluas ± 6.266 yang diterbitkan Kepala Desa Sei Silau Barat yang bernama Edi Erwanto.

  1. Terdakwa Paimin menguasai dan mengusahai lahan seluas ± 18.997,75 M2 yang terletak di Dusun VII Desa Silau Timur, Kec. Buntu Pane, Kab. Asahan sejal tanggal 26 Nopember 2007 yang diperoleh dengan cara mengganti rugi lahan kepada pemiliknya yang bernama Kasmuni. Alas hak yang dimiliki Paimin berupa Surat keterangan tanah seluas 18.997,75 m2 dengan No. 593/091/II/SST/2008 yang diterbitkan oleh Kades Sei Silau tanggal 5 Pebruari 2008.
  2. Menurut Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaanya pada saat BPN melakukan pengukuran sesuai dengan permintaan PTPN III guna perpanjangan HGU yakni pada tanggal 5 Maret 2007 bertempat di Afdeling I, Afdeling V dan Afdeling VI Desa Sei Silau Barat dan Afdeling II Desa Sei Silau Timur  yang termasuk dalam lahan perkebunan milik PTPN III berdasarkan HGU Nomor 1 tanggal 20 Februari 1984 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Agraria Kab. Asahan yang ditandatangani oleh H. Nazarudin Nasution, BA, dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 5 Januari 1981 Nomor SK.6/HGU/DA/81 dengan luas areal 5.360 Ha  dengan masa berlaku 25 tahun dengan berakhir tanggal 3 desember 2005 atas nama pemegang hak PT. perkebunan V berkedudukan di Sei karang Galang, kemudian berdasarkan peraturan Pemerintah RI No.8 tahun 1996 tanggal 14 tahun 1996 Ganti Nama Pemegang Hak tanggal pendaftaran 17 Juni 1967 Nomor 786/III/1997 menjadi PT. Perkebuanan Nusantara III dan Peta lampiran  Momor 1 Desa sei Silau tanggal 20 Pebruari 1984 dan sebelumnya berakhirnya HGU tersebut Pihak PTPN III telah mengajukan permohonan perpanjangan HGU dengan surat nomor 309/X/08/2004 tanggal 23 januari 2004 dengan luas yang diajukan seluas 5.360, desa Sei Silau, Kec. Buntu pane, Kab. Asahan.

Para Terdakwa Tukijo,dkk dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau asset lainnya penggunaan lahan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan atau melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Dimana perbuatan tersebut dilakukan Terdakwa I Tukijo dengan cara penggunaan lahan tanpa izin atau melakukan perusakan kebun  dengan menguasai tanah perkebunan seluas ± 4.036 M2 dimana tanah tersebut diperileh Tukijo dari orangtuanya dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) Nomor: 593/042/SKT/SSB/IV/2007 tanggal 5 April 2007 yang dikeluarkan Kepala Desa Silau Barat Edi Erwanto dan diketahui Camat Buntu Pane dengan menanami pohon Kelapa Sawit, pohon Coklat dan pohon Durian. Dan terdakwa II telah menguasai tanah perkebunan seluas ± 26.775 M2 dan tanah tersebut diperoleh Terdakwa dari orangtua Terdakwa dengan Surat Keterangan Tanah Nomor: 593/025/SKT/SSB/IV/2002 tanggal 24 Desember 2002 yang dikeluarkan Kepala Desa Silau Barat dan diketahui Camat Buntu Pane dengan menanami pohon Kelapa Sawit, pohon Coklat dan Durian. Dan terdakwa III Tugimin telah menguasai tanah perkebunan seluas ± 12.040 M2 dan tanah tersebut diperoleh Terdakwa dari orangtua Terdakwa dengan Surat Keterangan Tanah Nomor:593/012/SKT/SSB/V/1999 tanggal 23 Mei 1999 yang dikeluarkan Kepala Desa Silau Barat dan diketahu Camat Buntu Pane dengan menguasai tanah perkebunan dengan menanami pohon Kelapa Sawit, pohon Coklat. Dan Terdakwa IV Sutarmin telah menguasai tanah Perkebunan seluas ± 16.115,5 M2 sengan Surat keterangan tanah Nomor: 593/040/ SKT/SSB./IV/2007 tanggal 3 Mei 2007 yang dikeluarkan Kepala Desa Silau Barat dan diketahu Camat Buntu Pane seluas 19.719 M2  dengan SKT Nomor: 593/040/SK/BP/IV/2007 tan ggal 9 April 2007 dengan menanami tanah tersebut dengan tanaman Plawija, Mahoni dan kelapa sawit. Dan terdakwa V Paimin telah menguasai tanah perkebunan seluas ± 18.997,75 M2 dimana tanah tersebut diperoleh terdakwa dari orangtuanya dengan Surat keterangan tanah Nomor: 593/012/SKT/SSB/V/1999 tanggal 23 Mei 1999 yang dikeluarkan Kepala desa Silau Barat dan diketahu Camat Buntu Pane.

  1. Proses Pemeriksaan Dan Putusan Pengadilan
  • Dakwaan JPU, Melanggar Pasal 47  ayat (1) jo Pasal 21 UU RI No. 18 Tahun 2004 tetang Perkebunan Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
  • Eksepsi/Keberatan Penasihat Hukum
  • JPU melakukan tanggapan atas Eksepsi Kuasa Hukum Terdakwa.
  • Putusan Sela Majelis Hakim : 1. Menolak keberatan (Eksepsi) Penasihat Hukum terdakwa-terdakwa untuk seluruhnya. 2.Memerintahkan pemeriksaan perkara pidana No.812/Pid.B/2008/PN-Kis atas nama Tukijo alias Kijo,dkk dilanjutkan. 3.Menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir.
  • Tuntutan JPU: 1. Menyatakan Terdakwa I Tukijo alas Kijo, Terdakwa II Iskandar, Terdakwa III Sutarmin, Terdakwa IV Tugimin als Toke, Terdakwa V Paimin, terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana diatur dan diancam  pidana  Pasal 47 ayat (1) Jo pasal 21 UU RI No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana 2. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa-terdakwa dengan pidana masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan denda masing-masing sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) sudsidair masing-masing 3 (tiga) bulan kurungan. 3. Menyatakan agar terdakwa-terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).
  • Nota pembelaan Terdakwa. 1. Menyatakan terdakwa Tukijo, Terdakwa Iskandar, Terdakwa Sutarmin, Terdakwa Tugimin alias Toke dan Terdakwa Paimin, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan pidana sebagaimana didakwakan. 2. Membebaskan para Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara ini (Vrijpraak). 3. Memulihkan hak para Terdakwa dalam harkat, kedudukan dan kemapuannya seperti semula
  • Putusan Akhir Majelis Hakim. 1.Menyatakan terdakwa I Tukijo alias Kijo, Terdakwa II Iskandar, Terdakwa III Sutarmin, Terdakwa IV Tugimin alias Tokew, Terdakwa V Paimin telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan pidana” Dengan sengaja menggunakan lahan perkebunan tanpa izin yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebuanan”. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa-terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 9 (sembilan ) bulan dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali dengan perintah hakim terdakwa-terdakwa sebelum lewat masa percobaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan denda masing-masing sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. 3. Membebani terdakwa-terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah).
  1. Fakta-Fakta Persidangan

Agar analisis kasus ini tidak semata-mata pendapat dan kajian yang tidak mengakar pada pokok masalah meskipun dilihat dari berbagai unsur-unsur sebagaimana dikemukakan diatas disini diuraikan  berbagai Fakta yang terungkap dipersidangan yang diperoleh dari Putusan No.812/Pid.B/2008/PN-Kis.

Dalam Persidangan Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan  4 orang saksi dan 1 orang Saksi fakta yakni: Sukirman, S.H, Jaiasmul alias Amul, Andrianto, Kayat dan Tarbarita Simorangkir, S.SIT (ahli). Dari berbagai keterangan saksi ini disimpulkan beberapa hal berikut :

  • Telah terjadi penggarapan lahan perkebunan tanpa izin pihak PTPN III Sei Silau selaku pemegang HGU atas lahan yang berada di Afdeling I,II,V dan VI Desa Sei Silau Barat dan Desa Sei Silau Timur, Kec. Buntu Pane, Kab. Asahan yang dilakukan Terdakwa Tukijo, Tugimin, Sutarmin, Iskandar dan Paimin dengan cara menanam tanaman tersebut dengan tanaman pisang, coklat, jabung, kelapa sawit dan pohon karet. Perbuatan Terdakwa-terdakwa tersebut tidak diketahui mulai sejak kapan dan baru diketahui pada saat melakukan pengukuran HGU PTPN III oleh BPN Kanwil Sumatera Utara dalam rangka perpanjangan HGU tanggal 5 maret 2007.
  • Tanah yang dikuasai itu merupakan tanah rendahan atau tanah resapan air yang termasuk dalam areal HGU yang sebagian ada yang ditanami dan tidak ditanami PTPN III.
  • Berdasarkan HGU No. 1 tahun 1984 yang dikeluarkan oleh BPN, HGU PTPN III Kebun Sei Silau akan berakhir tanggal 31 desember 2005 namun sudah dimohonkan perpanjangannya.
  • Terdakwa-terdakwa mengerjakan lahan dalam areal HGU PTPN III dengan cara melakukan pembersihan dan menanami tanaman di celah-celah (gawangan) tanaman PTPN III.
  • Menurut saksi Kayat yang menjadi kewenangan BPN Kisaran menyangkut persyaratan pengajuan dan perpanjangan HGU dan kanwil propinsi berwenang melakukan pengukuran dan bila sudah disetujui kanwil Propinsi lalu BPN Kisaran mendaftarkan di buku Pendaftaran Tanah. Penerbitan HGU merupakan kewenangan BPN Pusat, BPN Kisaran mengeluarkan Sertifikat HGU atas petunjuk pusat
  • Setifikat HGU No.1 tanggal 20 Pebruari 1984 dikeluarkan Kepala Kantor Agraria Kabupaten Asahan dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 5 januari 1981 Nomor.SK.6/HGU/DA/81 dengan luas 5.360 Ha dan akan berakhir 31 desember 2005 atas nama Pemegang Hak PT. Perkebuanan V berkedudukan di Sei Karang-Galang dan kemudian berdasarkan PP No.8 tahun 1996 berganti nama menjadi Perusahaan Persero PT.PN III berkedudukan di Sei Sikambing B yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan dimana tanah tersebut berasal dari tanah yang dikuasai negara
  • Batas areal perkebunan PTPN III Sei Silau yang dikeluarkan oleh Kanwil Agraria Direktorat pendaftaran tanah di Medan yang diketahui Kepala Seksi pendaftaran tanah kabupaten Asahan, disebelah uatara berbatasan dengan tanah negara, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Somba Huta, sebelah Timur dengan Sei Silau dan Kebun Kuala Pisa sebelah barat berbatasan dengan Kebun Huta Padang dan Sei Silau Tua.
  • Menurut Ahli Tarbarita Simorangkir salah satu persyaratan perpanjangan HGU adalah dengan dilakukannya pengukuran secara keseluruhan berdasarkan data-data keseluruhan yang ada dikantor pertanahan asahan dengan Nomor HGU No.1 tanggal 20 Pebruari 1984 yang dikeluarkan Kepala Kantor Agraria Kabupaten Asahan Hasanuddin Nasution, BA dengan luas 5.360 Ha sela 25 tahun dengan batas sebelah utara Tanah Sumber Agung, sebelah timur Urung Pane, Sebelah selatan Desa Somba Huta dan sebelah barat dengan Kampung Setia. Pengukuran yang terakhir 5 Maret 2007 dengan cara pengukuran menggunakan Kadastral dengan metode muka belakang menggunakan alat ukur teodolit dengan batas tugu patok yang ada dilapangan kemuadian hasilnya dituangkan dalam berita acara penyelesaian pekerjaan pengukuran pengembalian batas hak guna usaha No.1 Sei Silau PTPN III. Pengukuran tersebut dilakukan atas permohonan PTPN III Kebun Sei Silau tentang perpanjangan HGUnya yang berakhir 31 desember 2005 dan ditindaklanjuti dengan perintah tugas Nomor.216.58 dan surat Nomor:216-150 tanggal 18 April 2007
  • BPN Propinsi melakukan pengukuran berdasarkan batas-batas pilar yang telah ada sebelumnya berdasarkan sertifikat areal HGU No. 1 tahun 1984.
  • Kantor wilayah BPN Propinsi Sumut telah membuat peta bidang tanah No.20/2007 tanggal 27 Juni 2007 dimana peta bidang tanah tersebut bukanlah merupakan bukti hak, akan tetapi merupakan syarat perpanjanagn HGU yang akan diperpanjang
  • Peta bidang tanah  Nomor: 20/07/2007 tersebut dinyatakan bidang survey, pengukuran dan pemetaan kantor wilayah BPN Propinsi sumut telah melakukan pengukuran keliling batas bidang tanah dalam rangka pengembalian batas bidang tanah seluas 6575,99 Ha sedangkan areal HGU PTPN III berdasarkan serifikat HGU NO. 1 tahun 1984 seluas 5,360 Ha, pengukuran demikian mekanismenya berdasarkan hasil factual dan kondisi fisik dilapangan luas areal kebun sei silau adalah 6575,99 Ha adalah sudah termasuk didalamnya 4 kampung dan telah dikeluarkan seluas 112,21 dengan pengertian 4 kampung tersebut bukan lagui HGU No, 1 tahun 1984 berdasarkan Surat Keputusan Mendagri Dirjen Agraria luasnya adalah 6.450 Ha dimana peta bidang tanah yang dilakukan kanwil Pertanahan No. 20.07/2007 dilaksanakan secara Terestris dengan Metode muka belakang bedasarkan acuan pilar batas yang ada dilapangan
  • Pengukuran yang dilakukan BPN Propinsi tidak terjadi perbedaan luas yang mencolok antara luas peta bidang No. 20/07/2007 tanggal 27 Juni 2007 dengan lampiran SK Mendagri No. SK.06/HGU/DA/81 tanggal 5 januari 1981 seluas 6.450 Ha karena luas yang diukur sudah termasuk 4 kampung adalah seluas 6.575,99 Ha jadi luas sebenarnya adalah 6.463,78 Ha dan selisih dengan SK HGU No.6 tahun 1981 adalah seluas 13,78 dalam hal ini masih memenuhi  toleransi pengukuran.
  • Menurut saksi Tarbarita Simorangkir kepala desa maupun Camat dan instansi lain tidak diperbolehkan mengeluarkan surat keterangan tanah (SKT) di areal HGU tersebut, dan berdasarkan SK mendagri No. 593/5707/SJ, tanggal 22 Mei 1984 yang ditujukan kepada Gubernur seluruh Indonesia melarang kepala Desa dan Camat untu mengekuarkan SKT semenjak tahun 1984.

Di Persidangan para terdakwa (Tukijo,dkk) juga mengajukan saksi ade charge yakni: Dimin, Katimin, Satimin, H. Anas fauzi Lubis, Saifuhdin Juhri,  dan saksi ahli H. Tampil Ansari Siregar, S.H, M.S yang dari keterangannya disimpulkan hal-hal berikut :

  • Terdakwa Tukijo,dkk ada menguasai tanah diareal rendahan (bekas rawa-rawa) yang berbatasan atau dikelilingi PTPN III yang terletak di Dusun I,II,III Desa Sei Silau Barat
  • Terdakwa Iskandar, Sutarmin dan Tugimin  menguasai tanah dengan cara meneruskan penguasaan yang dilakukan orangtua atau kakek mereka masing-masing sedangkan Terdakwa Tukijo dan Pamin menguasai lahan mereka berdasarkan ganti rubi masing-masing dari Tunggal dan Kasmuni
  • Sebelum tahun 1984 dan hingga kini bidang-bidang tanah yang dikuasai para Terdakwa tersebut sama sekali tidak pernah dikuasai dan diusahai PTPN III serta tidak terdapat tanaman PTPN III diatasnya
  • Dahulunya diantara bidang-bidang tanah yang dikuasai para Terdakwa dengan tanah PTPN III terdapat tanda batas berupa parit yang berada diareal daratan
  • Saksi H Anas Fauzi Lubis anggoat komisi A DPRD Asahan setelah mempelajari tuntutan masyarakat dan memanggil untuk meminta penjelasan dari pihak BPN ternyata lahan tersebut sudah diperpanjang dan diperluas HGUnya. Atas masalah tersebut disampaikan kepada ketua fraksi dan selanjutnya ketua Fraksi mencari solusinya dengan memanggil BPN Sumut
  • Hak guna usaha yang lama dari PTPN III adalah seluas 5.360 ha sedangkan HGU PTPN III yang baru seluas 6.463,78 Ha
  • Komisi A DPRD asahan ada berdelegasi menjumpai kanwil BPN Sumut tentang permasalahan HGU dan hasil pertemuan dengan Kakanwil BPN Sumut menyampaikan bahwa luas HGU seluas 5.360 Ha akan tetapi BPN tidak pernah secara tegas mengatakan bahwa para terdakwa menggarap tanah tersebut adalah diluar HGU yang dikeluarkan oleh BPN Sumut dan juga tidak ada termuat dalam berita acara pelaksanaan rapat tentang penerbitan HGU No.1 Sei Silau
  • Tampil Ansari Siregar, S.H.MS sebagai ahli hukum agraria menjelaskan dalam UUPA No.5 tahun 1960 diatur mengenai hak menguasai negara, pengertian penguasaan tidak bermakna memiliki tetapi kepada negara diberi wewenang untuk menguasai tanah tersebut. Penguasaan negara dibedakan menjadi 2 bagian yaitu: pertama tanah yang dikuasai langsung oleh negara disebut tanah negara dan kedua tanah yang tanah yang dikuasai secara tidak langsung oleh negara disebut sebagai tanah hak.
  • Tanah negara atau tanah yang belum diberikan hak diatasnya juga terbagi 2 yatitu: Pertama tanah negara bebas yaitu tanah yang yang sama sekali tidak ada menguasai dan kedua tanah negara tidak bebas  adalah tanah yang belum diberikan negara kepada seseorang karena belum ada pengakuan atau pemberian negara berupa  hak diatasnya.
  • Menyangkut kepemilikan tanah ada 2 hal yang menjadi kepemilikan bagi seseorang yaitu: Pertama, hak kepemilikan yang tertulis seperti sertifikat sebagi bukti yang paling kuat dan kedua Bukti berupa Pengakuan dan keterangan penguasaan fisik, hal ini dengan merujuk pada PP no. 40 yang mengatakan bahwa jika menguasai fisik tanah dengan itikat baik dan tidak ada orang lain yang keberatan selama 20 tahun.
  • HGU diberikan kepada pengusaha pada tanah negara bebas, dan juga HGU tersebut harus ada sertifikat.
  • Tanah hak yaitu tanah yang telah diberikan hak tertentu yang melekat padanya seperti hak milik, HGU dan tanah tersebut bisa menjadi tanah negara apabila ada pelepasan hak terlebih dahulu atas kepemilikannya.
  • Pemberian HGU tidak dibenarkan  atas tanah-tanah yang dimiliki hak seseorang diatasnya.
  • Wewenang pemberian HGU seluas sekitar 200 Ha menjadi kewenangan Kanwil BPN daerah dan untuk tanah lebih dari 200 ha kewenangan BPN Pusat
  • Lahirnya HGU pada saat dicatat dibuku tanah  dan di sertifikat dan luas yang tercatat di sertifikat itulah merupakan luas HGU atas tanah yang sebenarnya.
  • Dalam pendaftaran atas tanah data fisik adalah berkaitan dengan luas tanah dan batas-batas atas tanah, sedangkan data yuridis adalah berkaitan dengan beberapa lama pemohon mengajukan permohonan untuk menguasai tanah tersebut serta hak apa yang dimohonkan
  • Batas-batas HGU tidak hanya terkait dengan batas-batas luar yaitu patok luar saja tetapi terkait dengan batas-batas dan patok dalam HGU tersebut oleh karena bisa saja dalam suatu areal yang telah diberi patok luas HGU namun didalamnya terdapat kampung-kampung yang tidak diletakkan HGU nya.
  • Perpanjangan HGU tidak dapat menambah luasan tanah HGU yang sudah ada sertifikat, dan bilamana merubah luas HGU nya maka harus dimohonkan sertifikat hak yang baru ataupun pengajuan penggabungan hak yang nantinya akan keluar sertifikat yang baru dengan luas tanah yang baru.
  • Secara hukum tidak boleh diberikan hak yang lain diatas tanah HGU
  • Tanah HGU yang dikuasai ternyata tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan  bisa ditetapkan menjadi tanah terlantar sehingga HGU tersebut dengan sendirinya bisa hapus
  • Areal HGU yang diberikan ada tanah hak milik di dalamnya maka pemegang hak tersebut wajib menyediakan jalan keluar
  • Jika diatas tanah HGU perkebunan PTPN III Sei Silau tersebut ada orang-orang yang menguasainya, maka tanah tersebut bukan merupakan tanah bebas
  • Jika pemegang HGU sebelumnya misalnya seluas 5.360 Ha dan ternyata setelah diukur ulang menjadi 646,78 Ha adalah sah bilamana diberikan HGU yang baru
  1. Analisis Terhadap Pertimbangan Putusan Hakim

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP, Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam teori hukum pidana, istilah “tindak pidana” atau kadang-kadang disebut juga dengan “perbuatan pidana”, atau “peristiwa pidana” atau dalam bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” atau “delict” (delik), lazim diartikan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Seseorang dinyatakan telah melakukan suatu tindak pidana (delik) hanya apabila perbuatan yang dilakukan orang tersebut telah terbukti memenuhi tiap-tiap unsur dari delik sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.

Dari ketentuan pasal yang didakwakan kepada Para Terdakwa Tukijo, dkk, yaitu Pasal 47 ayat (1) jo. Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka rumusan pasal yang menjadi elemen inti delik (bestandeel delict) yang harus dibuktikan adalah unsur “ dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.

Mengacu pada rumusan elemen inti delik tersebut, untuk membuktikan perbuatan pidana yang didakwakan kepada Para Terdakwa, analisis akan diarahkan dengan berfokus pada tiga pertanyaan, pertama benarkah Para Terdakwa telah merusak atau menggunakan lahan perkebunan PTPN III Sei Silau tanpa izin? Kedua, apakah perkebunan PTPN III Sei Silau benar merupakan usaha perkebunan sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan? Ketiga, benarkah perbuatan Para Terdakwa telah mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan?

Mengenai pembuktian unsur “merusak dan atau menggunakan lahan perkebunan PTPN III Sei Silau tanpa izin”.

Dalam pertimbangan Putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan Para Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja menggunakan lahan perkebunan tanpa izin yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Apabila dibaca pertimbangan Putusan Majelis Hakim, kesimpulan tersebut cenderung didasarkan atas beberapa alasan, yaitu : pertama, keterangan yang diberikan oleh saksi Jai Asmul als Amul dan saksi Andrianto (keduanya karyawan PTPN III Kebun Sei Silau) yang menyatakan bahwa pada saat dilakukan pengukuran lahan atas permintaan PTPN III guna perpanjangan HGU pada tanggal 5 Maret 2007 didapati bahwa Para Terdakwa telah menguasai dan menggarap lahan yang telah diletaki HGU PTPN III Kebun Sei Silau. Kedua, hasil pemeriksaan setempat,. Ketiga, PTPN III Kebun Sei Silau memiliki bukti penguasaan berupa Sertifikat Hak Guna Usaha No. 1 tanggal 20 Februari 1984 yang merupakan akta autentik, sedangkan Para Terdakwa tidak memiliki bukti autentik berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN.

Membaca pertimbangan hukum putusannya, terlihat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran cenderung memandang permasalahan ini secara sempit.

Legalitas penguasaan tanah hanya dipandang sebatas pada kepemilikan dokumen hukum berupa HGU dan mengingkari fakta penguasaan tanah secara turun temurun oleh Para Terdakwa sejak tahun 1950-an.

Perbuatan penggunaan lahan perkebunan tanpa izin yang dituduhkan kepada Para Terdakwa dinyatakan terbukti dengan mendasarkan pemeriksaan setempat dan keterangan sebagian saksi yang nyata-nyata merupakan karyawan PTPN III Kebun Sei Silau sendiri yang patut diragukan independensinya dalam memberikan keterangan dalam perkara ini.

Padahal selain saksi-saksi yang merupakan karyawan Perkebunan PTPN III Sei Silau, saksi-saksi lain yang diperiksa adalah Kayat, seorang PNS dengan jabatan Kasubsi Pendaftaran Dan Informasi Pertanahan pada kantor Pertanahan Kabupaten Asahan di Kisaran. Tarbarita Simorangkir S.Sit, sebagai saksi ahli yang bekerja sebagai PNS di Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara dengan Jabatan Staf Bidang Survey, Pengukuran Dan Pemetaan. Dimin, Katimin, dan Satimin, sebagai saksi-saksi Adecharge  yang telah tinggal di Desa Sei Silau Barat yang juga merupakan tempat Para Terdakwa berdomisili sejak tahun 1940 – 1959. Saksi H. Anas Fauzi Lubis dan Saifuddin Juhri, yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Asahan, serta H. Tampil Anshari Siregar, S.H., M.S. sebagai saksi ahli.

Baik dalam putusan ataupun dalam pertimbangan hukum memang ada dikutip keterangan dari saksi-saksi ini, namun kenyataannya keterangan saksi-saksi tersebut, apabila dilihat kesimpulan Majelis Hakim, sepertinya tidak dijadikan dasar pertimbangan hukum Putusan.

Sebagai contoh, meskipun Para Terdakwa telah membantah seluruh keterangan saksi-saksi yang merupakan karyawan Perkebunan PTPN III Sei Silau dan sehubungan dengan itu  Saksi Adecharge Dimin, Katimin, dan Satimin pada pokoknya telah memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan saksi-saksi karyawan Perkebunan PTPN III Sei Silau tersebut, yaitu dengan menerangkan bahwa Para Terdakwa ada menguasai bidang tanah di  areal rendahan (bekas rawa-rawa) yang berbatasan atau dikelilingi oleh tanah dan tanaman PTPN Nusantara III. Bahwa dahulu di antara bidang tanah yang kuasai oleh Para Terdakwa dengan tanah PTPN III terdapat tanda batas berupa parit yang berada di areal daratan. Bahwa penguasaan Para terdakwa atas tanah adalah meneruskan dari orang tua mereka. Bahwa sebelum tahun 1984 dan hingga kini, bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh Para Terdakwa tidak pernah dikuasai oleh PTP Nusantara III serta tidak terdapat tanaman PTP Nusantara III di atasnya. Namun keterangan saksi-saksi ini tidak pernah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran. Jika memang Majelis Hakim menolak untuk mempertimbangkan keterangan-keterangan saksi-saksi tersebut, Majelis Hakim seharusnya memberikan alasannya dalam pertimbangan putusan mengapa menolak, tapi ternyata hal inipun tidak dilakukan oleh Majelis Hakim.

Demikian juga dengan keterangan saksi H. Anas Fauzi Lubis dan Saifuddin Juhri, yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Asahan. Keduanya di depan persidangan telah menerangkan bahwa dari hasil pertemuan yang diadakan oleh pihaknya dengan Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara tidak ada diperoleh keterangan apakah lahan yang dikuasai terdakwa-terdakwa masuk HGU PTPN III atau tidak. BPN Sumut tidak pernah secara tegas mengatakan apakah tanah-tanah yang digarap oleh masyarakat termasuk yang dikuasai oleh terdakwa-terdakwa berada di dalam atau di luar HGU PTPN III Kebun Sei Silau. Namun fakta hukum ini ternyata juga tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran.

Saksi-saksi yang merupakan karyawan Perkebunan PTPN III (Jai Asmul als Amul dan Andrianto) sesuai ketentuan Pasal 168 KUHAP, memang bukanlah termasuk saksi-saksi yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi, namun terhadap keterangan saksi-saksi tersebut seharusnya Majelis Hakim lebih cermat dalam menilai kualitas keterangan saksi. Hal ini mengingat kedudukan saksi sebagai pekerja atau karyawan Perkebunan PTPN III sekidit banyak akan mempengaruhi independensinya dalam memberi keterangan berkaitan dengan perusahaan (PTPN III Kebun Sei Silau) tempat dimana ia bekerja dan memperoleh penghasilan.

Apalagi keterangan saksi-saksi yang merupakan Karyawan Perkebunan PTPN III Sei Silau tersebut (Jai Asmul als Amul dan Andrianto) telah dipatahkan oleh bantahan Para Terdakwa dan oleh keterangan dari saksi-saksi Dimin, Katimin, dan Satimin serta saksi H. Anas Fauzi Lubis dan Saifuddin Juhri. Hal ini tentu menjadikan keterangan yang diberikan oleh saksi karyawan Perkebunan PTPN III tersebut patut diragukan kebenarannya dan dalam hal yang demikian ini sesuai dengan prinsip hukum pidana “in dubio proreo”, maka Majelis Hakim seharusnya menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi Para Terdakwa.

Dari cara mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan, terlihat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran tidak mempertimbangkan secara teliti keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan. Majelis Hakim hanya mengambil alih keterangan dari sebagian saksi yang merugikan Para Terdakwa, di sisi lain mengabaikan begitu saja keterangan saksi-saksi lainnya yang menguntungkan Para Terdakwa dengan tanpa memberikan penjelasan yuridis berkaitan dengan tindakannya itu.

Mengenai apakah perkebunan PTPN III Sei Silau benar merupakan usaha perkebunan sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan?

Rumusan Pasal 47 ayat (1) jo. Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan yang menjadi elemen inti delik (bestandel delict) mensyaratkan bahwa perbuatan pidana yang dituduhkan dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut berakibat pada terganggunya usaha perkebunan (i.c. Perkebunan PTPN II Sei Silau).

Menjadi pertanyaan, apakah benar Perkebunan PTPN III Sei Silau merupakan suatu usaha perkebunan sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan? Atau dengan kata lain apakah Perkebunan PTPN III Sei Silau memenuhi syarat legalitas sebagai suatu usaha perkebunan sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan?

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim telah mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan “usaha perkebunan” dengan mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 18 Tahun 2004 tentang  Perkebunan, yaitu usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan. Namun dalam pertimbangan hukum Putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran sama sekali tidak mempersoalkan apakah secara yuridis PTPN III Sei Silau memenuhi syarat sebagai suatu perusahaan yg bergerak di bidang usaha perkebunan sebagaimana disyaratkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Untuk dapat dikatakan sebagai sebuah perusahaan yang bergerak dibidang usaha perkebunan, secara yuridis setidaknya harus dipenuhi 2 syarat yang diatur oleh 2 rezim hukum, yakni rezim hukum tanah dan hukum perizinan. Rezim hukum tanah berkaitan dengan syarat alas hak atas tanahnya (HGU) dan rezim hukum perizinan berkaitan dengan izin usaha perkebunannya sebagaimana yang disyaratkan Pasal 17 ayat (1) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan jo. Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Dari bukti-bukti surat yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini ternyata tidak ada bukti tertulis yang membuktikan adanya izin usaha perkebunan PTPN III Sei Silau (lihat hal. 19 Putusan). Kenyataan ini menunjukkan bahwa secara yuridis PTPN III Sei Silau tidak memenuhi syarat sebagai suatu perusahaan yang bergerak dibidang usaha perkebunan sebagaimana yang disyaratkan Pasal 17 ayat (1) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan jo. Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Selama pemeriksaan perkara di persidangan, fakta hukum ini ternyata tidak digali dan ditelusuri secara lebih mendalam oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran.

Mengenai pembuktian bahwa perbuatan Para Terdakwa mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Seperti telah diketahui pada pembahasan sebelumnya bahwa secara yuridis PTPN III Sei Silau tidak memenuhi syarat sebagai suatu perusahaan yang bergerak dibidang usaha perkebunan sebagaimana yang disyaratkan Pasal 17 ayat (1) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan jo. Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, maka secara yuridis sebenarnya menjadi tidak terbukti pula secara sah dan meyakinkan tuduhan bahwa perbuatan Para Terdakwa mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Namun di luar itu, karena dalam banyak kasus dengan dakwaan Pasal 47 jo. Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, pembuktian unsur  ini sering kali dilakukan oleh Hakim dengan cara yang terkesan begitu gampang dan sering kali hanya didasarkan pada keterangan saksi-saksi yang tidak berkapasitas untuk itu secara hukum, maka Pengkaji merasa perlu untuk memberikan komentar secara yuridis mengenai hal ini.

Dalam perkara dengan terdakwa-terdakwa Tukijo, dkk, pembuktian unsur apakah perbuatan Para Terdakwa telah mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan (i.c. PTPN III Sei Silau) atau tidak, pada dasarnya hanyalah dapat dibuktikan oleh pihak PTPN III Sei Silau sendiri sebagai pihak korban yang merasa dirugikan karena usaha perkebunannya menjadi terganggu.

Kiranya telah menjadi pengetahuan umum di Indonesia bahwa PT Perkebunan Nusantara (PTPN) adalah salah satu BUMN yang bergerak di bidang usaha perkebunan. Dalam situs resminya disebutkan bahwa PT. Perkebunan Nusantara III disingkat PTPN III (Persero) merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan yang bergerak dalam bidang usaha perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan.[4] Sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Persero, PTPN III tunduk pada ketentuan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

PTPN III secara yuridis diakui sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindakan hukum dengan diwakili oleh Direksinya. Hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menyatakan bahwa pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi. Selanjutnya ayat 2 dari Pasal 5 tersebut menyatakan Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian, apabila terjadi permasalahan hukum terkait dengan PTPN III, Direksi adalah orang yang harus hadir mewakili PTPN III di hadapan sidang pengadilan, bukan karyawan biasa yang levelnya di bawah Direksi.

Kenyataannya dalam perkara Tukijo, dkk, seperti juga banyak kasus pidana dengan dakwaan serupa, yaitu Pasal 47 jo. Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, pembuktian unsur bahwa perbuatan Para Terdakwa mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan, hanya dibuktikan melalui keterangan saksi korban yang statusnya adalah karyawan biasa dari PTPN III. Bahkan dalam beberapa kasus, pembuktian unsur ini dinyatakan cukup terbukti oleh Hakim hanya dengan mendasarkan pada keterangan karyawan yang merupakan tenaga security (satpam) perusahaan.

Padahal seorang karyawan biasa yang levelnya di bawah direksi apalagi seorang tenaga security (satpam) secara yuridis jelas tidak mempunyai kapasitas untuk mewakili perusahaan (i.c PTPN III) bertindak di hadapan pengadilan.

Mengenai pembuktian unsur ”secara bersama-sama” (Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP).

Dalam Putusannya hal. 41, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkataan ”dilakukan secara bersama-sama”, harus ada dua orang yang melakukan perbuatan pidana. Selanjutnya berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan diketahui bahwa Para Terdakwa secara bersama-sama menguasai dan menanami lahan dengan tanam-tanaman, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan.

Apabila dicermati pertimbangan Putusan tersebut, jelas terlihat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran tidak cukup lengkap dalam  memahami teori hukum pidana berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama dan tidak cermat dalam menimbang fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Dalam pertimbangan hukum Putusannya, Majelis Hakim hanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkataan dilakukan secara bersama-sama, harus ada dua orang yang melakukan tindak pidana. Betapa suatu pertimbangan yang terkesan terlalu menggampangkan permasalahan.

”Secara bersama-sama” atau sering disebut juga dengan ”turut melakukan” atau ”pelaku penyerta” merupakan terjemahan dari kata bahasa Belanda ”mede dader”.

Menurut Prof. Satochid Kartanegara, untuk dapat dikatakan ”bersama-sama melakukan” minimal harus dipenuhi 2 syarat, yakni harus ada kerjasama secara fisik dan harus ada kesadaran kerja sama. Syarat kesadaran kerja sama itu perlu timbul sebagai akibat pemufakatan yang diadakan oleh para peserta.

Ditambahkan oleh Mr. Tirtaamidjaja, bahwa suatu syarat mutlak bagi ”bersama-sama melakukan” adalah adanya ”keinsyafan bekerjasama antara orang-orang yang bekerja bersama-sama itu. Dengan perkataan lain mereka itu secara timbal balik harus mengetahui perbuatan mereka masing-masing.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan, sebagaimana dapat dibaca dalam putusan, tidak terdapat fakta yang mengindikasikan bahwa Para Terdakwa melakukan perbuatan mereka secara bersama-sama. Tidak terbukti dipersidangan bahwa mereka bekerjasama secara fisik dalam melakukan perbuatan dan juga tidak terbukti bahwa kerjasama itu timbul sebagai akibat adanya pemufakatan di antara mereka. Hal ini terbukti karena faktanya Para Terdakwa mengerjakan lahannya masing-masing secara sendiri-sendiri dan lahan mereka masing-masing tersebut letaknya juga berjauhan antara satu dengan lainnya. Dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim sendiri telah menyatakan bahwa Terdakwa I Tukijo mengerjakan lahan miliknya yang terletak Afdeling VI Blok 124 Dusun II Desa Sei Silau Barat Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan. Terdakwa II Iskandar menguasai lahan di  Afdeling I Dusun I Desa Sei Silau Barat Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan. Terdakwa III Sutarmin menguasai lahan yang terletak di Afdeling II, V dan VI Dusun II dan III Desa Sei Silau Barat Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan. Terdakwa IV Tugimin als Toke menguasai lahan di Dusun III Desa Sei Silau Barat Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan. Terdakwa V Paimin menguasai lahan di Afdeling II Dusun VII Desa Sei Silau Timur Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan.

Fakta ini menunjukkan kurangnya bekal pengetahuan Majelis Hakim akan teori hukum pidana dan juga kurangnya ketelitian dalam melihat fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Kesimpulan Dan Penutup

  1. Dalam mengadili perkara ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran terlihat memandang perkara ini dalam lingkup yang sempit dan tidak peka terhadap perasaan keadilan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, khususnya menyangkut konteks sosial kemasyarakatan yang meliputi berbagai kasus konflik tanah antara masyarakat petani dan perusahaan-perusahaan perkebunan yang marak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam penyelesaian perkara di Pengadilan, sesuai hukum acara, lingkup pemeriksaan oleh Hakim memang terbatas pada dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun demikian hal ini seharusnya tidaklah membatasi hakim untuk menggali lebih dalam apa yang menjadi akar permasalahan dari suatu perkara dengan mencoba memahami dan mempertimbangkan fenomena sosial kemasyarakatan yang menjadi penyebab timbulnya kasus.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) secara tegas telah memberi ruang dan bahkan mewajibkan hakim dan hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Namun hal ini sepertinya tidak dilakukan oleh Majelis Hakim sehingga putusan yang diberikan tidak menyelesaikan akar permasalahan yang sebenarnya.

  1. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kisaran tidak cermat dalam menimbang berbagai fakta yang terungkap di persidangan dan keliru dalam menerapkan hukum berkaitan dengan fakta-fakta tersebut. Ketidakcermatan menimbang berbagai fakta yang terungkap di persidangan terlihat dari tidak cukup dipertimbangkannya fakta-fakta yang disampaikan oleh saksi-saksi lain di luar dari saksi-saksi yang merupakan karyawan PTPN III. Padahal saksi-saksi yang merupakan Karyawan Perkebunan PTPN III Sei Silau tersebut, selain diragukan independensinya, keterangan mereka juga telah dipatahkan oleh keterangan Para Terdakwa dan oleh keterangan dari saksi-saksi lainnya. Hal ini tentu menjadikan keterangan yang diberikan oleh saksi karyawan Perkebunan PTPN III tersebut patut diragukan kebenarannya dan dalam hal yang demikian ini sesuai dengan prinsip hukum pidana “in dubio proreo”, seharusnya Majelis Hakim menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi Para Terdakwa. Kekeliruan dalam penerapan hukum terlihat dari ketidakkonsistenan Majelis Hakim dalam menerapkan ketentuan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sebagai pedoman dalam menilai fakta-fakta persidangan. Jika Para Terdakwa Tukijo, dkk telah didakwa dengan mendasarkan pada Pasal 47 jo. 21 UU No. 18 Tahun 2004 yang unsur perbuatannya “ dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”, seharusnya pembuktian unsur-unsur delik tersebut juga berpedoman pada ketentuan UU No. 18 tahun 2004. Salah satunya dalam hal ini mengenai apa yang dimaksud dengan “usaha perkebunan” dalam rumusan delik tersebut. Untuk mengetahui hal itu, Majelis Hakim seharusnya berpedoman pada ketentuan UU No. 18 tahun 2004, khususnya Pasal 17. Secara yuridis, untuk dapat dikatakan sebagai “usaha perkebunan”, selain disyaratkan adanya Hak Guna Usaha (HGU) sebagai dasar legalitas hak atas tanahnya, juga disyaratkan adanya izin usaha perkebunan sebagaimana diatur Pasal 17 UU No. 18 Tahun 2004. Berdasarkan fakta-fakta persidangan, Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan adanya dokumen hukum berupa izin usaha dari perkebunan, namun dalam Putusannya Majelis Hakim tidak mempertimbangkan hal ini. Demikian juga menyangkut pembuktian unsur ”secara bersama-sama” (Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP). Dalam hal ini, selain terlihat kurangnya bekal pengetahuan Majelis Hakim akan teori Hukum Pidana, juga terdapat ketidakcermatan serta ketidaktelitian dalam menilai fakta-fakta perbuatan Para Terdakwa untuk kemudian menerapkan ketentuan Hukum Pidana tentang ”perbuatan secara bersama-sama” (Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP).

[1] 1.753 kasus konflik tanah tersebut menyebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah tingkat II (kabupaten/kota) dengan cakupan luas tanah yang dipersengketakan tidak kurang dari 10.892.203 ha dan telah memakan korban tidak kurang dari 1.189.482 KK.

[2] Selain dipicu  sengketa atas perkebunan besar, penyebab lain konflik tanah adalah: akibat kebijakan publik yang berkaitan dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), pembangunan perumahan dan kota baru (232 kasus), pengembangan kawasan kehutanan produksi (141 kasus), pembangunan kawasan industri dan pabrik (115 kasus), pembangunan bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), pembangunan sarana wisata (73 kasus), pengembangan kawasan pertambangan besar (59 kasus), dan pembangunan sarana militer  (47 kasus).

3 http//perkebunan.kaltimprov.go.id

[3] Sampai kajian ini dibuat, uji materi UU No 18/2004 tentang perkebunan yang diajukan oleh Pil-Net masih disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

[4] Lebih lengkap lihat  www.ptpn3.co.id

 

About admin

2 comments

  1. Hi, just wanted to tell you, I enjoyed this post. It was inspiring.Keep on posting!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top