Home / ARTIKEL / RUU KKR : Harapan Baru bagi Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu (?)

RUU KKR : Harapan Baru bagi Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu (?)

Undang- Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) No 27 Tahun 2004 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.006/PUU-IV/2006 pada 7 Desember 2007. Harapan akan hadirnya sebuah penyelesaian kala itu sangat tinggi bagi korban pelanggaran HAM masalalu. Akan tetapi harapan banyak korban menjadi sirna setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut.

Perintah konstitusional MK untuk membentuk kembali UU KKR yang sejalan dengan UUD 1945 menjadi penting, karena penegasan ini memiliki arti bahwa MK mengakui urgensi dan konstitusionalitas  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR), dalam penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), juga dimandatkan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Hal ini juga sejalan dengan semangat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia khususnya Pasal 47 di sebutkan jika Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan KKR tersebut dibentuk lewat Undang-undang.

Kini, RUU KKR yang baru sepertinya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dengan masuknya RUU usulan pemerintah untuk dibahas dan masuk dalam program legislasi nasional tahun 2015.

Tulisan ini mencoba merangkum hasil beberapa kali diskusi dengan korban 65 bersama akademisi dan Komnas HAM yang coba mengkritisi RUU KKR antara lain:

Pertama, RUU KKR diletakkan dalam diskursus HAM di Indonesia. RUU KKR ini mengisi keterbatasan yang ada dalam UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 1 RUU KKR disebutkan, ruang lingkup RUU ini mencakup wilayah pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU No 26/2000, yaitu pelanggaran HAM berat berupa genosida  dan kejahatan melawan kemanusiaan. Jadi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertugas menyelesaikan pertanggungjawaban tentang pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi sebelum UU No 26/2000 berlaku secara efektif. Dengan merujuk pada UU No 26/2000, RUU KKR mempersempit dimensi pelanggaran HAM pada pengertian genosida dan kejahatan melawan kemanusiaan yang ditafsirkan dalam UU No 26/2000 itu. Artinya, pelanggaran HAM masa lalu di luar batasan penafsiran UU No 26/2000 tidak dapat dijadikan ruang lingkup kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dengan kata lain, bila terjadi pelanggaran HAM, tetapi peristiwa itu tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah “pelanggaran HAM berat” menurut UU No 26/2000, KKR tak memiliki wewenang untuk mengungkap “kebenaran” peristiwa itu, apalagi mengusahakan rekonsiliasi antarkelompok yang terlibat dalam peristiwa itu. KKR akan menjadi macan ompong bila terjadi sebuah proses politik maupun yudisial yang memutuskan bahwa di masa lalu tak pernah terjadi pelanggaran HAM berat sebagaimana ditafsirkan oleh UU No 26/2000.

Kedua, Hanya sedikit pasal yang mendefinisikan soal “Kebenaran” dan mengatur cara kebenaran itu bisa diperoleh dan ditafsirkan, dibandingkan dengan pasal-pasal yang mengatur perangkat dan keanggotaan Komisi. Dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, “kebenaran” ditafsirkan sebagai “kebenaran atas suatu peristiwa” yang meliputi “korban, pelaku, tempat, maupun waktu”. Penafsiran “kebenaran” semacam ini memiliki implikasi sosiologis dan kultural yang sama sekali tak disentuh oleh draf RUU KKR ini. RUU ini memandang kebenaran substansial hanya dapat diperoleh berdasarkan legal positivistic tanpa memandang asal- usul, latar belakang kultural, dan pengalaman historis mereka yang memberi kesaksian.

Ketiga, Penafsiran tentang “kebenaran peristiwa” secara legal-positivistik dalam RUU KKR berdampak terhadap kerancuan tugas, wewenang, dan mekanisme kerja KKR yang diatur RUU ini. Tugas KKR seperti diatur dalam Pasal 5 (a) dan (b) adalah menerima pengaduan atau laporan dan melakukan penyelidikan dan klarifikasi tentang pelanggaran HAM berat. Sementara itu, wewenang KKR dalam Pasal 6, antara lain, adalah melaksanakan penyelidikan, meminta keterangan, mendapatkan dokumen, dan memanggil orang untuk memberi keterangan dan kesaksian. Secara tersirat, Pasal 6 meletakkan pengertian keterangan dan kesaksian sebagai alat bukti legal yang dapat dipakai sebagai material sah guna mengadakan penyelidikan dan melakukan klarifikasi adanya pelanggaran HAM. Lagi-lagi pengertian keterangan dan kesaksian semacam ini mempersempit pengertian “kesaksian” yang seharusnya ditafsirkan secara luas sebagai sebuah “testimoni”. Testimoni sebenarnya adalah bagian kesaksian sejarah yang bersifat amat personal. Oleh karena bersifat personal, testimoni sering tidak lengkap (fragmented) dan tidak selesai. Kepentingan testimoni adalah memberi ruang bagi seorang pelaku atau korban untuk menceritakan peristiwa yang ia lihat atau alami. Nilai testimoni tidak terletak pada kemampuannya sebagai alat untuk klarifikasi atau penyelidikan, tetapi sebagai mediasi truth-telling. Apabila KKR di Indonesia akan diarahkan sebagai komisi yang memiliki fungsi truth-seeking, hal itu sah saja. Konsekuensi dari pilihan itu adalah memberi wewenang luas kepada KKR untuk melakukan penyelidikan tentang peristiwa pelanggaran HAM. Akan tetapi, harus diingat, fungsi semacam ini akan tumpang tindih dengan fungsi Komisi Nasional (Komnas) HAM dan tak dapat dielakkan akan muncul pandangan bahwa KKR hanya akan menambah daftar komisi yang dibentuk, tetapi tidak pernah menghasilkan kerja maksimal.

Ke empat, seolah olah KKR diarahkan sebagai lembaga yang berfungsi mengatur rekonsiliasi dan kompensasi semata, jika ini yang terjadi maka akan muncul keberatan dari keluarga korban yang menghendaki adanya penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM yang mereka alami. Selain itu, ketidakpuasan terhadap pengadilan ad hoc HAM yang sudah berlangsung sejauh ini akan menjadikan persoalan rekonsiliasi dan kompensasi sebagai “telur di ujung tanduk” karena tak seorang pun percaya bahwa hal itu membawa keadilan bagi mereka yang menjadi korban.

Ke lima, RUU KKR sebaiknya dijadikan dasar pijakan untuk pembentukan sebuah KKR yang memiliki fungsi truth-telling untuk mediasi peristiwa kekerasan dan konflik yang pernah terjadi. Secara bersamaan, perlu pula diperkuat fungsi truth-seeking Komnas HAM sehingga, apabila ditemukan testimoni yang memenuhi unsur pelanggaran HAM, maka KKR bisa menyerahkan kepada Komnas HAM untuk penyelidikan sebagaimana mestinya.

Ke enam, Ruang cakupan KKR tidak dapat dibatasi sekadar pada peristiwa pelanggaran HAM berat yang ditafsirkan dalam UU No 26/2000. Komisi ini melakukan “pengungkapan kebenaran” dengan cara mengumpulkan testimoni dan menelusuri peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Bersamaan dengan itu, dapat pula dibicarakan dan disepakati peristiwa historis seperti apa yang “kebenarannya” perlu ditelusuri lebih lanjut melalui pengumpulan testimoni. Implikasi pilihan ini, KKR harus diisi orang-orang profesional yang peka terhadap sejarah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Oleh : Juniaty

Disadur dari beberapa pertemuan di BAKUMSU bersama korban 65 dan studi tematis bersama Ikohi Sumut

Diangkat dalam Soerak Edisi 41/thn 2015

 

 

About admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top