Majalah Forbes edisi 23 November 2011 yang lalu, terdaftar 40 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan tertinggi mencapai 14 miliar dolar dan terendah mencapai 630 juta dolar AS. 40 orang saja. Artinya, total nominal kekayaannya sudah mencapai total US$84,57 milyar atau Rp.769.587 miliar. Data ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kemakmuran dan kesejahteraan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang Indonesia.
Toh kualitas hidup rakyat tetap rendah, kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan, kesehatan dan lain – lain. Medan, Ibukota Sumatera Utara ditemukan sebanyak 124 anak dan 1.896 anak mengalami gizi kurang. Jumlah anak yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang ini terdapat di 14 kelurahan yang dikatagorikan rawan pangan dengan jumlah keluarga miskin mencapai 2.599 kepala keluarga. Total rumah tangga rawan pangan di Kota Medan sebanyak 79.136 kepala keluarga (KK) atau 22,93 persen dari 345. 127 KK. Kelurahan yang memiliki KK miskin adalah Kelurahan Sidomulyo, Ladang Bambu, Namo Gajah (Medan Tuntungan), Kelurahan Belawan Bahagia, Belawan Bahari, Belawan-I, Belawan II, Bagan Deli, Pulau Sicanang (Medan Belawan), Kelurahan Terjun, Paya Pasir, Labuhan Deli (Medan Marelan), dan Kelurahan Pekan Labuhan, Nelayan Indah di Kecamatan Medan Labuhan (harian Analisa 27 Oktober 2011). Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka bisa mengakses pendidikan dan kesehatan yang layak?
Watak Politik Prosedural dan Pencitraan
Alih-alih demi menjalankan kedaulatan rakyat, motif kekuasaan cenderung hanya untuk merampas hak-hak rakyat demi pribadi maupun bagi kendaraan politiknya (parpol). Beberapa pekan terakhir ini, publik terhentak dengan kasus-kasus korupsi para wakil rakyat. Anggaran negara ternyata dikorupsi secara berantai berantai. Artinya, korupsi ternyata telah dirancang secara sistematis bahkan bila dianggap perlu, penyelenggara pemerintahan bisa saja disokong oleh mekanisme legal formal (prosedural) untuk memuluskan tujuan mereka. Kasus badan anggaran di DPR, wisma atlet, proyek dinas kesehatan dan daftar mega skandal korupsi sebelumnya ternyata dilakukan secara terencana dari mulai perencanaan, penganggaran, pemberian tender hingga pelaksanaan dilapangan. Parahnya, parpol tidak bekerja atas nama rakyat. Mereka justru cenderung menjadi bagian dari kekuasaan yang manipulatif, dengan berperan dan terlibat sebagai kaki tangan dari kekuasaan dari para politisinya yang bermasalah.
Tampaknya pola yang dimainkan oleh DPR pusat, yakni bermewah-mewah di atas penderitaan rakyat juga mewabah sampai ke DPRD Sumut. Sebagaimana ramai diberitakan, setelah menempati gedung baru yang dibangun dengan uang rakyat senilai lebih kurang Rp 185 miliar, anggota DPRD Sumut masih belum puas. Mereka juga dimanjakan kemewahan mobil dinas baru bagi 60 anggotanya yang menguras uang rakyat lebih kurang Rp 15 miliar.
Konflik Tanah dan Pelanggaran HAM
Pemerintahan juga gagal melindungi segenap rakyat. Pelanggaran HAM terutama terkait konflik agraria justru memuncak. Menurut catatan Serikat Petani Indonesia, konflik agraria meningkat pesat dari 22 kasus dengan 5 orang korban tewas pada 2010 menjadi 120 kasus dengan 18 orang korban tewas pada 2011.
Di Sumut, versi komisi A DPRDSU, berjumlah 500 kasus yang mencuat. Tidak resolusi konflik yang konkrit dan adil dilakukan Pemerintah Sumut. Akibatnya tidak satupun yang terselesaikan hingga saat ini. Ketidakjelasan ini akhirnya banyak menuai konflik, ketika rakyat sadar bahwa mereka sudah menjadi korban yang acapkali digiring menjadi kriminalisasi rakyat.
Konflik agraria itu diselesaikan setiap perusahaan yang berkepentingan dengan cara sendiri. Cara itu ialah dengan membentuk pamswakarsa atau meminta bantuan aparat keamanan.
Itulah yang terjadi di Mesuji dan Bima dan desa Kumuh Perbatasan Sumut dan Riau baru-baru ini ketika aparat menembaki rakyat. Itu artinya ketika negara hadir, konflik bukannya rampung, melainkan malah bertambah kompleks.
Political Will Pemerintah?
Satu hal yang perlu dicermati adalah problema di gerakan rakyat sendiri. Bukannya semakin memperkuat, demokrasi yang berlangsung ternyata justru semakin melemahkan kekuatan-kekuatan demokratik. Kekuasaan yang dikontrol oleh korporasi juga menjadi penyebab utama. Liberalisasi demokrasi memaksa gerakan rakyat semakin terpolarisasi di daerah. Akibatnya, mereka tercerai dalam berbagai aksi dan strategi untuk mengintervensi demokrasi yang sedang bermasalah. Dalam kondisi demokrasi seperti dideskripsikan di atas, upaya-upaya penegakan hukum, perlindungan dan penegakan HAM, serta pemberantasan korupsi tentu saja tidak bisa diharap banyak.
Terkait gerakan rakyat, berbagai upaya yang dilakukan rakyat mulai dari surat-menyurat, aksi demonstrasi ke berbagai instansi terkait, lobbi, dan membangun dukungan solidaritas dari berbagai pihak dan jaringan, belum juga membawa hasil. Sebenarnya tanpa disadari bisa dikatakan telah melek politik baik akibat dididik secara sistematis maupun secara sendirinya (otodidak) ketika rakyat sadar bahwa mereka telah menjadi korban dan pada akhirnya bisa berkonsolidasi dan menjadi kekuatan untuk mewujudkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. jika pemerintahan yang anti rakyat tetap dipelihara, maka patut diprediksi konsekuensi kesadaran ini bisa bermuara pada dua potensi yang tinggal menunggu kapan terjadinya yakni Pertama, anarkisme akibat kemarahan rakyat yang sudah memuncak , seperti terjadi di Papua, Mesuji, dan Bima. Kedua, karena tak kunjung menghadirkan keadilan dan perbaikan, politik dan hukum di Sumut akan tiba pada titik jenuh. Semua pihak pada akhirnya akan berpaling pada gerakan fundamentalisme. kekuatan berbasis suku/etnis, kekuatan agama/keyakinan, atau kekuatan pasar modal.
Oleh sebab itu, rakyat tidak cukup lagi hanya mengandalkan political will dari pemerintahan (terutama politisi) saja. Apalagi menyerahkannya pada watak politik yang masih sebatas legal formal, prosedural dan pencitraan seperti saat ini. Tranformasi dari pemerintahan minus rakyat ke pemerintahan rakyat atau yang umum disebut dengan demokrasi substansial sangat tergantung kepada sejauhmana kekuatan-kekuatan rakyat yang selama ini terpolarisasi untuk perlahan keluar dari jebakan prosedural yang sengaja diciptakan oleh pemihak status quo yang ditopang oleh korporasi baik multinasional, nasional maupun lokal. ***
*Tongam Panggabean, Penulis aktif di Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara.